1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Hukum dan Pengadilan

Seruan Menggugat UU Cipta Kerja ke MK Mulai Bermunculan

7 Oktober 2020

Di tengah derasnya penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja dari kelompok buruh, seruan untuk mengajukan judicial review ke MK pun bermunculan. Dorongan tersebut bahkan ada yang datang dari dalam DPR RI sendiri.

https://p.dw.com/p/3jXOr
Aksi Tolak Omnibus Law di Indonesia
Foto: Fauzan/Antara Foto/Reuters

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban menilai pemerintah dan DPR telah membohongi kalangan buruh terkait pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja pada Senin (5/10/2020). Ia mengaku sempat berkomunikasi dengan sejumlah anggota DPR dan wakil pemerintah terkait rencana pengesahan RUU Cipta Kerja. Tapi mereka selalu mengatakan RUU itu tak akan buru-buru disahkan.

"Saya beberapa kali bertemu dengan teman-teman dari DPR, pemerintah memang tidak ada dikatakan akan disahkan 8 Oktober. Mereka justru bilangnya tidak akan secepat itu, tidak terburu-buru banget. Ternyata justru dimajukan, dan itu membuat kita shock banget," kata Elly saat ditemui di Kantor Sekretariat KSBSI di Cipinang Muara, Jakarta Timur, Selasa (6/10/2020).

Ia mengaku tak habis pikir, kenapa mereka harus bohong seperti itu. "Okelah mereka bohong soal isi materinya tapi masak sampai tanggal pengesahan saja harus berbohong," imbuhnya masygul.

Hal lain yang membuat Elly dan teman-temannya kecewa dan marah adalah pengesahan UU Cipta Kerja itu justru dilakukan ketika dua pemimpin kaum buruh, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea tengah memenuhi undangan Presiden Jokowi di Istana Negara.

"Ini ada apa, kenapa? Ketika pimpinan serikat buruh dipanggil ke Istana, tiba-tiba DPR dengan leluasa mengetok palu," ujarnya.

Sejak kemarin sebagian buruh sudah berunjuk rasa dan melakukan aksi mogok menentang UU yang baru disahkan tersebut. Elly dan KSBSI juga akan menempuh perjuangan lain secara konstitusional, yakni mengajukan banding ke Mahkamah Konsitusi. "Kami akan judicial review ke MK, kami sedang mendalami dan mengkaji ulang pasal-pasal yang selama ini merugikan dan tak berpihak ke kalangan buruh," ujar Elly.

Judicial review atau Perppu

Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) juga menolak UU Cipta Kerja. Karena sudah diketok menjadi UU, maka dicari jalan untuk membatalkannya yaitu lewat judicial review ke Mahkamah Kontitusi (MK) atau Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pembatalan Pengesahan UU Cipta Kerja.

"Mendesak pembatalan UU Cipta Kerja dan mendesak Presiden Republik Indonesia demi hukum mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang pembatalan pengesahan UU Cipta Kerja. Mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, jika Pemerintah memaksakan mengundangkan UU Cipta Kerja," kata Sekjen KRPI, Saepul Tavip dalam siaran pers yang diterima detikcom, Rabu (7/10/2020).

Menurut Saepul, beberapa perwakilan masyarakat memang diberi kesempatan (terbatas dan sulit sebenarnya) untuk menyampaikan gagasan. Namun, kata Sapeul, ruang publik yang dijanjikan terindikasi hanya sebagai kamuflase agar terkesan telah memenuhi Pasal 96 UU No. 12 tahun 2011 yang mengamanatkan adanya pelibatan masyarakat dalam proses pembuatan suatu undang-undang.

"Berbagai usulan masyarakat seperti angin lalu, meskipun argumentasi filosofis, juridis, maupun sosiologis yang disampaikan berbagai pihak jauh lebih kuat karena bernafaskan konstitusi UUD 1945, ketimbang muatan Naskah Akademik dan RUU Cipta Kerja yang dibuat Pemerintah," ucap Saepul.

Dorongan menggugat pasal UU Cipta Kerja juga datang dari DPR

Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mengaku kaget karena masih menemui pasal terkait pendidikan di dalam omnibus law RUU Cipta Kerja (Ciptaker). Dia juga mengaku kecewa karena sebelumnya disepakati klaster pendidikan dikeluarkan dari draf RUU Ciptaker.

"Saya posisi kaget, karena Baleg menyatakan dalam forum akan mengeluarkan klaster pendidikan, utuh, semuanya. Kedua, saya kecewa, karena tetap masuknya satu pasal di Pasal 65 terkait pendidikan," kata Syaiful Huda kepada wartawan, Selasa (6/10/2020).

Dia mengaku baru mengetahui hal tersebut setelah omnibus law RUU Ciptaker disahkan pada Senin (5/10). Politikus PKB ini mengatakan tengah meminta Baleg memberi penjelasan kepada Komisi X soal Pasal 65 tersebut.

Syaiful mengaku khawatir keberadaan Pasal 65 tersebut akhirnya membuat pendidikan menjadi barang dagangan. Menurutnya, kondisi tersebut tak sesuai dengan amanat konstitusi.

"Saya sedang cari informasi ke teman Baleg, untuk Komisi X mendapatkan penjelasan lebih utuh terkait Pasal 65. Semoga, karena ini masa reses jadi harus menunggu. Tapi saya kecewa, dalam konteks, Pasal 65 itu berpotensi menjadikan pendidikan sebagai domain komersial. Itu kan tidak senapas dengan amanat UUD 1945," ungkapnya.

Dia mengatakan Komisi X sebelumnya merekomendasikan menolak klaster pendidikan di RUU Ciptaker. Dia mendorong aktivis pendidikan untuk mengajukan gugatan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Mereka dalam posisi menolak dan akan membawa ini ke judicial review. Muhammadiyah, PGRI, Tamansiswa juga menolak. Sikap saya, kita dorong ambil judicial review sebagai jalan konstitusional," ujar dia. (Ed: gtp/pkp)

Baca artikel selengkapnya di: DetikNews

Kecewa Dibohongi, Buruh Ajukan Judicial Review UU Cipta Kerja

Organisasi Buruh Ini Ancang-ancang Gugat UU Cipta Kerja ke MK

Komisi X DPR Dorong Masyarakat Gugat Pasal Pendidikan di UU Ciptaker