Museum Jerman dalam 140 Karakter
3 April 2014Ruang besar yang luas. Karya-karya seni terbentang di dinding. Di pojokan, dua pilar putih setinggi pinggul ditutupi stiker-stiker biru.
Seorang pengunjung mendekati secara perlahan, menunduk, membaca nota berisi tulisan tangan dan tertawa.
"Saya harus memposting ini di Twitter," ujarnya, kemudian lanjut mengambil foto nota dengan smartphone-nya.
Smartphone, Twitter, postingan - istilah-istilah yang tidak lazim dikaitkan dengan museum - setidaknya di Jerman. Namun ini segera berubah: sudah berhasil dibuktikan untuk pertama kalinya.
Selama tujuh hari, museum-museum menceritakan kisah mereka melalui Twitter, memperlihatkan koleksi dan instalasi serta mengajak pengunjung untuk berbagi kenangan mengunjungi museum. Setiap hari museum menyoroti aspek-aspek berbeda dari kisah mereka.
Helge David membawa proyek ini ke Bonn, menerapkan konsepnya di Bundeskunsthalle dan nota-nota disebarkan di seluruh penjuru ruang pameran. Dalam 140 karakter, para pengunjung menuliskan buah pikiran mereka.
Seni menjadi sorotan
David melihat manfaat bagi museum. Pakar sejarah seni ini mendirikan www.openmuseum.de, yang bertujuan melengkapi ruang pameran tradisional dengan kurasi digital.
"Setiap museum hanya memperlihatkan sebagian kecil dari yang tersedia. Smartphone memberi peluang untuk menambah materi yang sudah dipamerkan, dengan gambar-gambar dari arsip museum atau informasi mengenai sejarah materi pameran," jelasnya.
Karya seni tetap menjadi sorotan utama. Konten digital hanya memperkaya pameran.
Proyek-proyek seperti MuseumWeek juga membantu Friederike Siebert, yang mengkoordinasi program pendidikan dan sejarah seni Bundeskunsthalle.
"Dalam kerangka kerja MuseumWeek, kami mampu melakukan banyak hal," kata Siebert. "Kami ingin menggunakan Twitter untuk jangka panjang, tapi juga mengikuti perkembangan dalam beberapa bulan ke depan."
Bundeskunsthalle kini ingin membuka kesempatan bagi seluruh kelompok target dan lebih jauh mengintegrasikan smartphone dalam pamerannya.
"Pengunjung kami yang berusia muda memakai internet ponsel setiap hari," ucap Siebert. "Teman berkomunikasi satu sama lain, pengetahuan dapat diakses dari manapun. Lokasi tidak lagi menjadi masalah."
Smartphone ada dimana-mana di dalam museum, tambahnya - berarti hampir setiap pengunjung memilikinya - dan ini penting menurut Siebert, yang tentunya mendorong museum beradaptasi.
Wilayah baru
Respon pengunjung selama MuseumWeek tergolong positif. Kontribusi di museum Bonn diposting di Twitter dan mengundang banyak komentar.
Di Inggris, ungkap Helge David, jumlah interaksi dengan pengunjung lebih tinggi, namun museum di negara tersebut sudah lebih lama aktif di Twitter, sehingga sulit untuk membandingkan kedua negara.
Itulah mengapa Andrea Niehaus, yang mengepalai Deutsches Museum di Bonn, memandang MuseumWeek sebagai sebuah eksperimen.
Selama tujuh hari, museumnya bereksperimen dengan Twitter dan sosmed lainnya.
Niehaus menganggap dirinya pemula di ranah sosmed: Twitter adalah wilayah baru, tapi juga menyenangkan.
Pada akhir MuseumWeek, kedua pilar putih di Bundeskunsthalle penuh dengan nota: mengungkap pandangan mengenai seni yang dipamerkan, atau pujian atas arsitektur museum. Pengunjung MuseumWeek cukup kreatif.
Siebert merasa puas dengan saran yang didapat. Ia telah mengabadikan sejumlah pernyataan dalam bentuk foto dan berencana mempostingnya di Twitter.