Sang Pengubur Kapal Ilegal
7 Juni 2016Masih ingatkah Anda akan kisah yang beredar di media-media saat Jokowi baru saja melantik para menterinya pada 2014 lalu di Istana Negara. Cerita itu adalah tentang seorang menteri yang usai dilantik lalu melepas sepatu hak tingginya, duduk santai di rerumputan istana lalu merokok tenang-tenang.
Ia meminta agar wartawan tidak mengganggunya dahulu atau menanya-nanyai apapun padanya sebelum rokoknya selesai ia hisap; sebuah permintaan yang ditanggapi para wartawan dengan langsung menyorongkan aneka alat perekam, microphone, juga kamera. Tak lama kemudian komentar bernada negatif datang beruntun. Semuanya ditujukan untuk sang menteri Kelautan dan Perikanan bernama Susi Pudjiastuti ini. Tak berhenti di soal merokok, Susi pun disorot karena memiliki tattoo burung phoenix di kaki kanannya.
Lain daripada yang lain
Sosok Susi memang lain daripada yang lain. Ia bukanlah tipe perempuan yang biasa dijumpai pada sosok-sosok perempuan yang menjabat menteri di masa Orde Baru yang harus berhati-hati menjaga citra keperempuanannya dan sebisa mungkin tampil tak mencolok agar memenuhi syarat perempuan ideal Orde Baru: yang santun, yang menurut pada otoritas (dalam hal ini adalah sistem patriarkal yang tunduk pada laki-laki), juga yang menjalankan tugas-tugas keperempuanannya dengan baik (terutama sebagai istri dan ibu sebagai cara Orde Baru mendomestifikasi perempuan).
Gaya bicara Susi dan tingkah lakunya jauh dari apa yang diidealkan Orde Baru. Kita memang sudah tidak ada di masa itu lagi, tapi sebagian besar nilai-nilai yang dibentuk jaman itu masih melekat kuat dalam tradisi hidup sehari-hari.
Kesan jaim jelas tak ada dalam sosok Susi. Bagaimana bisa dibilang jaim kalau duduk ndlosor sembari merokok tampak begitu alami dilakukan Susi. Di kesempatan lain ia tak segan-segan nyemplung ke laut bersama petani Sumba di NTT untuk panen rumput laut. Ia juga santai saja berenang bersama ikan hiu paus di Gorontalo.
Satria pelindung laut Indonesia
Sejak bekerja sebagai menteri Kelautan dan Perikanan, Susi telah memberlakukan peraturan yang ketat dengan penerapan yang keras demi melindungi laut Indonesia dari serbuan para pencoleng baik dari dalam maupun luar negeri.
Sudah lebih dari 150 kapal yang terpergok mencuri ikan di perairan Indonesia ia ledakkan dan tenggelamkan. Perempuan asal Pangandaran, Jawa Barat ini juga tahu celah apa saja yang diambil dan dimainkan para penangkap ikan ilegal ini untuk bisa mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari laut Indonesia yang membuat negeri ini merugi setiap tahunnya sebesar 20 hingga 25 milyar dollar AS. Ini karena ia sendiri sebelum menjadi menteri sudah lebih dulu mengetahui seluk beluk di lapangan dari pekerjaannya sebagai pengusaha distributor seafood yang diekspor ke dalam maupun luar negeri.
Celah yang ada ini disebabkan banyak hal. Salah satunya adalah pejabat pemerintah yang korup yang dengan ringan memfasilitasi para pencuri ikan untuk mengambil keuntungan laut Indonesia asal ikut dapat bagian.
Para penguasa lokal juga ikut bermain, misal dengan memudahkan pemalsuan dokumen kapal asing menjadi kapal yang terdaftar untuk bisa beroperasi di Indonesia. Disinilah kapal penangkap ikan ilegal berkembang biak dan beranak pinak. Meledakkan dan menenggelamkan kapal akhirnya memang jadi sesuatu yang perlu dilakukan sebagai shock therapy yang menimbulkan efek jera permanen.
Apa yang dilakukan Susi ini sebenarnya adalah sesuatu yang biasa dan sudah sewajarnya tetapi menjadi luar biasa karena lemahnya penegakan hukum dan peraturan di Indonesia.
Hukuman pencuri ikan sebelum Susi jadi menteri adalah termasuk ringan. Tak heran mereka, si para pencuri ini, hobi bolak-balik datang ke laut Indonesia. Setelah ada Susi, kehadiran kapal-kapal asing yang berpesta pora mencuri ikan di waktu malam ini berkurang drastis.
Selain menenggelamkan kapal, Susi juga melarang semua awak kapal asing untuk tangkap ikan di laut Indonesia biarpun memakai dalih investasi. Dalih ini sering dipakai pihak asing untuk menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Yang terjadi kemudian adalah tak adanya pelaporan jumlah tangkapan.
Maka Susi mulai menekankan bahwa yang boleh menangkap ikan hanyalah nelayan Indonesia. Pihak asing hanya boleh membeli atau mengolah. Terhitung Mei 2016, pemerintah Indonesia menahan 700 kapal dari berbagai negara yang terlibat penangkapan ikan ilegal. Mereka hanya akan dilepas jika sudah bayar pajak selama bolak-balik ke laut Indonesia. Setelahnya, mereka tak boleh lagi kembali.
Susi juga melarang praktik-praktik yang memudahkan terjadinya pencurian ikan ilegal seperti pemindahan tangkapan ikan dari satu kapal ke kapal lain dengan tujuan daerah/negara lain sebagai salah satu contohnya. Penjagaan ketat perairan Indonesia dengan patroli ataupun memakai teknologi canggih juga sudah mulai diterapkan.
Keseriusannya dalam melindungi laut Indonesia tampak jelas saat ia bicara sebagai ketua delegasi Indonesia dalam sidang Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana di Wina 23 Mei lalu. Susi mengemukakan perlunya komunitas internasional untuk menggarisbawahi penangkapan ikan yang ilegal, tak dilaporkan dan yang tak diatur sebagai bentuk kejahatan terorganisir transnasional. Kejahatan ini terhubung dengan aneka kegiatan bahaya lain yang berkaitan dengan kejahatan lain lagi seperti pencucian uang atau penyelundupan obat-obatan.
Semua yang dikerjakan Susi ini telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat nelayan di Indonesia seperti yang salah satunya dibagikan oleh Susi lewat akun twitternya:
“Ibu, alhamdulillah sekarang ikan di Sibolga sangat banyak dan murah. Semua masyarakat ikut merasakan. Terima kasih Bu berkat perjuangan ibu, walaupun masih ada trawl yang curi-curi.”
Berpihak pada si miskin
Dengan wilayah laut Indonesia yang luas dan kaya, menyaksikan bagaimana nelayan Indonesia justru banyak sekali yang miskin adalah sebuah ironi. Langkah-langkah yang diambil Susi jelas berpihak pada mereka yang miskin ini.
Para nelayan miskin ini adalah korban sistem yang lunak dan mudah diobok-obok oleh mereka yang berduit (investor asing dan kapal-kapal asing adalah sebagian contoh saja). Kembalinya lagi pusat mata pencaharian nelayan dan jaringan ekonomi penduduk wilayah laut Indonesia yang budaya hidupnya memang bergelut dengan air dan laut Indonesia adalah sebuah harapan akan hidup yang lebih baik.
Adalah bagus bahwa Susi tak ambil pusing pada suara-suara yang cenderung menguliti hal-hal luar yang ada padanya seperti soal rokok dan tattoo tadi. Toh, suara-suara itu akhirnya terdiam tak bisa bicara saat menyaksikan sepak terjangnya menjadikan Indonesia punya otoritas dan kuasa dalam melindungi wilayah perairan dan perikanannya. Semoga Ibu Susi akan terus berpihak pada mereka yang perlu diperjuangkan hak hidupnya.
Penulis:
Sari Safitri Mohan adalah penulis novel, editor/produser podcast & IndoProgress TV yang meraih gelar MA dalam bidang studi media dari The New School University, New York.
@fitrimohan
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.