1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

Merugi Rp 100 T, Apa Solusi Kemacetan di Jabodetabek?

11 Januari 2020

Kemacetan di Jabodetabek diklaim menimbulkan kerugian mencapai Rp 100 triliun setiap tahunnya. Berpindah menggunakan transportasi umum di ibu kota jadi solusi agar kemacetan tidak terus-menerus menimbulkan kerugian.

https://p.dw.com/p/3W1lv
Indonesien: Umweltbelastung und Luftverschmutzung in Jakarta
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menargetkan Jakarta tidak lagi masuk ke dalam 10 kota termacet di dunia. Tak heran bila Anies ingin Indonesia bebas dari status kota termacet. Pasalnya momok tersebut menyebabkan kerugian yang amat besar. Tak tanggung-tanggung, sebelumnya Presiden Joko Widodo pernah mengatakan kerugian akibat kemacetan di Jakarta, termasuk kawasan penyangganya mencapai Rp 65 triliun per tahun.

"Saya hanya membayangkan hitungan Bappenas yang saya terima setiap tahun kita kehilangan Rp 65 triliun di Jabodetabek gara-gara kemacetan. Rp 65 triliun per tahun," kata Jokowi di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Selasa (08/01/2019).

Jokowi menjelaskan kerugian tersebut berdasarkan hasil studi Kementerian PPN/Bappenas. Namun berdasarkan laporan yang pernah diutarakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, kerugian yang diakibatkan kemacetan lebih besar dari angka di atas, yaitu mencapai Rp 100 triliun.

"Justru kemarin ketika rapat sudah mulai, tertutup, teman-teman media sudah keluar, angka itu dikoreksi oleh Pak Wakil Presiden dan kami juga angkanya sama, yaitu Rp 100 triliun, bukan Rp 65 triliun lagi, lebih besar," ucap Anies kepada wartawan di Balai Kota Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu (09/01/2020).

Mengapa macet di Jakarta bisa menimbulkan kerugian Rp 100 triliun?

Menurut Ekonom dari Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus, kerugian yang diakibatkan kemacetan meliputi kerugian yang ditanggung dunia usaha, produktivitas tenaga kerja, hingga konsumsi BBM kendaraan.

"Ya yang jelas karena keterlambatan atau kemacetan tadi kan membuat biaya logistik jadi meningkat, misalnya delivery barang jadi membutuhkan waktu yang lama, sehingga yang misalnya tadinya dia dalam satu hari bisa kirim 5 kali barang, karena macet jadi cuma 3 kali atau 4 kali. Karena kemacetan itu membuat semuanya jadi tertunda," kata dia saat dihubungi detikcom, Jumat (10/01/2020).

Kemacetan di jalan pun membuat konsumsi BBM kendaraan menjadi boros, ditambah perawatan kendaraan menjadi lebih besar imbas sering kena macet.

"Salah satunya jadi biaya-biaya transportasi kan meliputi biaya bahan bakarnya, kemudian juga biaya perawatan kendaraannya. Nah ini jadi meningkatkan biayanya semua," ujarnya.

Kemacetan pun membuat orang-orang yang bekerja menjadi terlalu lama di jalan saat berangkat dari rumah ke tempat kerja. Itu bakal mengganggu produktivitas mereka karena kehabisan banyak waktu hingga tenaga.

"Tentu mempengaruhi fisik ya kemacetan itu jadi melelahkan, jadi produktivitas juga agak berkurang gitu. Ini yang menyebabkan aturan bisa optimal jadi nggak optimal. Jadi ada kehilangan keuntungan yang harusnya didapat," tambahnya.

Baca jugaMungkinkah Kutukan Kemacetan Jakarta Dikurangi di Masa Depan?

Transportasi umum jadi solusi

Pemprov DKI Jakarta perlu memperbanyak transportasi umum di ibu kota agar tidak terus-menerus menimbulkan kerugian mencapai Rp 100 triliun per tahun imbas kemacetan. Penyediaan layanan transportasi umum ini harus baik agar orang-orang mau menggunakannya.

"Ya tentunya kan kita sudah tahu ya semua paparan pemerintah solusi mengatasi kemacetan seperti apa. Tinggal implementasinya harus berjalan efektif. Ya kayak diperbanyak transportasi massal yang aman dan nyaman," ujar Ahmad saat dihubungi detikcom, Jumat (10/01/2020).

Senada dengan Ahmad, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menyebut ada beberapa hal yang perlu dibenahi seperti jaringan jalan dan integrasi transportasi.

"Kita butuh kurang lebih, mungkin kalau ada percepatan lima tahun. Tapi diiringi dengan pengaturan tata ruang dan peningkatan jaringan angkutan umum. JakLingko harus bagus dan bisa mengalahkan angkutan online," kata Yayat, saat dihubungi, Jumat (10/1/2020).

JakLingko adalah sistem integrasi transportasi di Jakarta. Moda transportasi yang diintegrasikan yaitu bus TransJakarta, angkutan kota, MRT, serta LRT.

Menurut Yayat, ada wilayah-wilayah yang sedang tumbuh namun tidak mendapat kemudahan transportasi. Wilayah-wilayah yang sedang tumbuh seperti Jakarta Barat, dan Jakarta Selatan.

"Jakarta Barat mengarah ke Tangerang. Terus wilayah lain (angkutan massal) bermasalah adalah petumbuhan pusat bisnis Jakarta Selatan. Di sana jaringan jalan tidak mendukung, contoh Kemang. Kawasan perumahan itu yang tiba-tiba berubah jadi pusat bisnis, parkir belum ada angkutan belum siap. Pondok Indah, wilayah Lebak Bulus, Fatmawati. Fatmawati bagus ada MRT, tapi bisnis belum berkembang," kata Yayat.

Baca juga:Wacana Ojol Jadi Transportasi Umum, Kemenhub: Belum Ada Inisiatif 

Pembangunan jaringan transportasi juga harus dilakukan dengan beberapa daerah-daerah sekitar Jakarta. Harga tarif angkutan umum murah bisa merangsang masyarakat meninggalkan kendaraan pribadi.

"Bisa tidak Jakarta dengan Bekasi ada Transjakarta masuk dengan tarif Rp 3.500? Depok, Tangerang, Bogor perbanyak lagi. Jadi kawasan sekitar, untuk mengurangi kendaraan pribadi masuk Jakarta harus diberlakukan kerja sama (dengan daerah sekitar). Jadi membuat daya tarif murah bisa membuat pindah ke angkutan umum dari pinggiran," kata Yayat.

Selain soal angkutan umum, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus semakin membatasi angkutan pribadi. Kebijakan ganjil genap dinilai belum efektif.

"ERP (jalan berbayar) harus segera dilakukan. Itu terlalu lama wacana, persoalan hukum ERP harus diselesaikan," kata Yayat.

Selanjutnya, perlu juga dibangun beberapa titik-titik bisnis di luar pusat Jakarta, Jalan Sudirman-Thamrin. Titik-titik baru bisa mengurangi penumpukan kendaraan yang berakibat macet.

"Nah, artinya kemacetan pusat kota bisa dikurangi kalau kegiatan bisa didorong keluar dari inti kota, Jl. MH Thamrin-Jenderal Sudirman. (Kemudian) Mendorong pusat pertumbuhan ekonomi baru di Serpong, Tangsel, Bekasi. Dorong sebagian ke Bogor, ada Sentul dan lain-lain. Jadi tidak semua harus pagi macet ke Jakarta, pulang macet ke pinggiran," pungkas Yayat. (Ed: rap/yp)

 

Baca selengkapnya di: Detik News

Kerugian karena Macet di Jakarta Rp 100 T, Anies Perlu Lakukan Apa?

Jakarta Dinilai Bisa Keluar dari 10 Kota Termacet, Asalkan...