Sudah sejak zaman dahulu kala–Mesir Kuno, Mesopotamia Kuno, Yunani Kuno dan seterusnya–selalu ada sekelompok umat agama atau pengikut "sistem kepercayaan” (belief system) tertentu yang hobinya "menyesatkan” kelompok agama atau sistem kepercayaan orang lain. Tren itu terus berlanjut hingga kini, baik di Indonesia maupun mancanegara.
Ada kelompok agama yang menyesatkan secara diam-diam atau cuma sekadar, menurut orang Jawa, "mbatek” atau "mbatin” saja (memendam dalam pikiran) tetapi ada pula yang terang-terangan. Bahkan ada pula yang "melembagakan” dan "memolitikkan” kesesatan itu sehingga dampak buruknya semakin masif dan ekstensif. Yang lain "memformalkan” kesesatan melalui produk keputusan tertentu (misalnya fatwa atau maklumat) yang dikeluarkan secara resmi oleh institusi keagamaan tertentu (misalnya majelis ulama atau dewan gereja).
Hubungan dengan kekerasan
Dampak terburuk penyesatan sebuah agama bisa berupa pelegalan aneka ragam bentuk kejahatan kemanusiaan dan kekerasan fisik seperti pengusiran, kerusuhan, vigilantisme, perang, atau genosida dan pogrom (yakni sebuah pembantaian massal terorganisir), bukan hanya kekerasan verbal nonfisik saja seperti pelecehan, penghinaan, ujaran kebencian, dan sebagainya.
Buku Encyclopedia of Wars mencatat dari sekitar 1763 sejarah kekerasan yang dilakukan oleh umat manusia di dunia ini, tujuh persen di antaranya dimotivasi oleh faktor keagamaan. Faktor terbesar yang memicu perang adalah sentimen atau perseteruan etnis dan suku. Sementara itu, Matthew White dalam buku The Great Big Book of Horrible Things mencatat dari 100 kasus atau peristiwa perang terbesar dan terburuk dalam sejarah umat manusia, setidaknya 11 di antaranya didorong atau dipicu oleh masalah agama. Data ini belum termasuk perang dengan skala medium-rendah atau kerusuhan komunal berbau agama di berbagai negara.
Tak jarang, berbagai perang (atau kerusuhan) antarkelompok agama itu diawali dengan saling menyesatkan keyakinan dan fondasi keimanan masing-masing para pemeluk agama. Nyaris semua kelompok agama besar terlibat saling menyesatkan satu sama lainnya, dan bukan hanya antarkelompok agama yang berbeda saja (misalnya, kelompok kristiani versus muslim) tetapi juga dalam kelompok atau komunitas agama yang sama (misalnya, sesama umat agama Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, dlsb) hanya karena berbeda aliran, mazhab, atau pandangan dan pemikiran keagamaan.
Apa itu sesat?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "sesat” berarti "salah jalan; tidak melalui jalan yang benar; atau menyimpang dari kebenaran.” Jadi, kelompok agama yang dicap atau dilabeli "sesat” itu karena ada asumsi kalau mereka berada di jalur yang keliru atau menyimpang dari prinsip-prinsip teologi dan ajaran fundamental agama atau dari tafsir dan "kanon resmi” yang sudah ditetapkan oleh otoritas agama yang lebih mapan (well established).
Sudah banyak sekali kelompok agama yang menjadi korban wacana dan propaganda "penyesatan agama” di Indonesia dan negara-negara lain di dunia ini dari hingga sekarang. Di Indonesia saja, menurut catatan sejumlah lembaga riset dan advokasi (misalnya Setara Institute, Human Rights Watch, atau International Crisis Group) sudah ada ratusan kelompok agama–termasuk agama-agama lokal–yang menjadi korban propaganda penyesatan oleh sekelompok agama militan-konservatif.
Di kalangan umat Islam, di antara korban yang paling populer adalah Syiah, Ahmadiyah, Gafatar, atau Salamullah. Kini, kelompok "satpam agama” ini sedang mengincar Baha'i untuk disesatkan secara resmi melalui lembaga keislaman. Berbagai alasan dan argumen sepihak sudah disusun untuk dijadikan sebagai basis, fondasi, atau justifikasi penyesatan terhadap komunitas Baha'i. Mereka menuduh Baha'i sebagai sekte "sempalan Islam” yang menyimpang. Padahal, kalau dicermati secara seksama tidak demikian karena Baha'i memiliki konsep teologi, doktrin, dan ajaran fundamental yang berbeda dengan agama Islam secara umum. Mereka juga memiliki kitab-kitab suci sendiri, bukan Alquran atau Hadis. Jadi, dari mana menganggap Baha'i sebagai "sempalan Islam”?
Yang menarik untuk dicermati adalah hampir semua agama pernah mengalami tuduhan penyesatan atau dicap sesat oleh komunitas agama yang terlebih dulu mapan. Menariknya, ketika agama yang disesatkan itu menjadi "mapan” dan besar, para pemeluknya kelak juga gantian menyesatkan agama atau aliran/sekte agama baru. Begitu seterusnya seolah tiada akhir.
Misalnya, Islam (ketika belum terpecah menjadi berbagai aliran) pada mulanya juga dicap sesat oleh kelompok "agama pagan” yang dianut oleh suku-suku di Makah. Kelak, ketika agama ini pecah menjadi berbagai aliran dan sekte teologi Islam (Sunni, Syiah, Khawarij, Murji'ah, Mu'tazilah, Ibadiyah, dlsb), mereka juga terlibat saling menyesatkan satu sama lainnya. Hal yang sama juga terjadi di komunitas agama kristiani, termasuk sekte-sekte Kristen di Timur Tengah. Sejarah juga mencatat kalau komunitas Katolik dan Protestan saling menyesatkan. Kelak mereka sama-sama menyesatkan kelompok Anabaptis (seperti Mennonite). Komunitas Mormon, Quaker dan lainnya di Amerika Serikat pada awalnya juga disesatkan. Begitu seterusnya.
Akibat propaganda penyesatan yang sering diiringi dengan tindakan persekusi, pembunuhan, pengrusakan, atau pengusiran pengikut agama yang disesatkan tersebut, banyak dari agama ini yang kemudian lenyap dari muka bumi. Sebagian lagi bertahan hidup meskipun kembang kempis dengan pengikut yang sangat terbatas. Mereka menjalankan aktivitas keagamaan secara diam-diam dan banyak yang menyamarkan identitas agama mereka khususnya jika mereka tinggal di tengah-tengah masyarakat intoleran atau rezim politik-agama yang anti kemajemukan.
Tetapi ada pula yang sukses dan kemudian berkembang biak dan bahkan menyebar di berbagai negara seperti Ibadiyah, Baha'i, Mormon dan masih banyak lagi. Ketika agama atau sekte agama yang pada mulanya disesatkan tersebut mampu bertahan kemudian tumbuh menjadi besar mapan, apalagi menjadi minoritas dan menguasai sektor politik-ekonomi, pelan tapi pasti label sesat itu hilang dengan sendirinya. Masyarakat tidak lagi melihatnya sebagai "agama sesat” dan bahkan banyak dari kelompok agama yang menyesatkan itu kemudian bekerja sama dengan kelompok agama yang disesatkan tersebut.
Poin yang ingin saya sampaikan di tulisan singkat ini adalah fenomena atau tren penyesatan atas komunitas agama tertentu itu sebetulnya adalah murni pekerjaan manusia yang tidak ada sangkut pautnya dengan Tuhan. Oleh manusia (khususnya kelompok politik dan agama yang fanatik dan sektarian), Tuhan hanya dicatut namanya saja sebagai legitimasi religius-teologis atas tindakan antipluralisme dan kejahatan kemanusiaan yang mereka lakukan. Bahkan dalam banyak hal, tindakan penyesatan agama itu, baik yang terjadi di Indonesia maupun mancanegara, sebetulnya adalah sebuah "aksi politik” yang tidak ada korelasinya dengan doktrin dan ajaran keagamaan.
Sumanto Al Qurtuby adalah Direktur Nusantara Institute; dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi; Visiting Senior Scholar di National University of Singapore, dan kontributor di Middle East Institute, Washington, D.C. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University. Selama menekuni karir akademis, ia telah menerima fellowship dari berbagai institusi riset dan pendidikan seperti National Science Foundation; Earhart Foundation; the Institute on Culture, Religion and World Affairs; the Institute for the Study of Muslim Societies and Civilization; Oxford Center for Islamic Studies, Kyoto University's Center for Southeast Asian Studies, University of Notre Dame's Kroc Institute for International Peace Studies; Mennonite Central Committee; National University of Singapore's Middle East Institute, dlsb. Sumanto telah menulis lebih dari 25 buku, puluhan artikel ilmiah, dan ratusan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Di antara jurnal ilmiah yang menerbitkan artikel-artikelnya, antara lain, Asian Journal of Social Science, International Journal of Asian Studies, Asian Perspective, Islam and Christian-Muslim Relations, Southeast Asian Studies, dlsb. Di antara buku-bukunya, antara lain, Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London: Routledge, 2016) dan Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam (London & New York: I.B. Tauris & Bloomsbury).
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.