12 Tahun Nenanti Keadilan
2 Mei 2016Siang itu tepat tanggal 19 April 2016, ketika Republik ini ramai membicarakan simposium penyelesaian tragedi 65, saya mendapat pesan elektronik dari seorang teman yang menghadiri acara tersebut. Dia mengirimi gambar acara dengan pesan “Ada Muchdi PR”.
Sebagai apa dia hadir disana? Pelaku Pelanggaran HAM? Teman saya hanya mengatakan banyak tokoh dan pejabat yang datang berpikir pragmatis. Mereka sibuk berbicara tentang 'memaafkan' kasus pelanggaran HAM berat, tidak hanya kasus 1965, tapi semua kasus pelanggaran HAM.
Membincang tentang memaafkan, sebagai keluarga atas kasus pembunuhan suami saya Munir, saya bingung dengan pernyataan para pejabat yang selalu berbicara harus memaafkan untuk semua kasus pelanggaran HAM.
Dalam kasus Munir saya diminta memaafkan para pelakunya. Pertanyaan saya hanya sederhana: Siapa yang perlu minta maaf? Pelakunya? Pelakunya itu siapa? Bahkan Pollycarpus yang jelas divonis empat belas tahun, lalu mendapat potongan menjalani hanya delapan tahun dan sekarang sudah bebas, pun tidak pernah meminta maaf atau penyesalan secuilpun.
Jadi, sebetulnya saya selalu ingin bertanya kembali pada para pejabat itu, sebetulnya siapa yang minta maaf itu? Presiden yang mewakili para pelanggar HAM atau khususnya pembunuh Munir? Jadi logikanya, Presiden tahu sebenarnya siapa pembunuh Munir. Kalau tahu, apakah dia sedang melindungi pembunuh Munir?
12 tahun menanti keadilan
Duabelas tahun penantian keadilan, penuntasan kasus pembunuhan Munir tak kunjung datang. Berbagai cara telah saya lakukan bersama para sahabat pecinta keadilan dan kebenaran. Bersama-sama terus mendorong kasusnya diselesaikan, lewat persidangan pidana sejak tahun 2005-2008.
Seiring dengan itu, perjuangan juga dilakukan lewat persidangan perdata, mekanisme Pengadilan Tata Usaha (PTUN) 2015, dan Komisi Informasi Publik (KIP), agar BIN membuka informasi tentang pengangkatan Pollycarpus sebagai anggota BIN serta surat penugasan Muchdi PR ke Malaysia pada tanggal 6 September 2004.Dan sekarang kami meminta KIP agar membuka rekomendasi temuan Tim Pencari Fakta (TPF) Munir. Sekaligus terus mengajak masyarakat peduli atas penegakan hukum dan HAM di Indonesia.
Dalam bulan ini saya mendapat jawaban dari Kementerian Sekretariat Negara (kemensesneg) atas permintaan saya untuk mempublikasikan hasil rekomendasi TPF Munir. Mereka menyatakan bahwa:
1) TIDAK MEMILIKI INFORMASI yang dimaksud;
2)TIDAK MENGETAHUI keberadaan informasi dan badan publik yang menguasai informasi yang dimaksud.
Kita dibodohi
Apakah kembali lagi rejim ini mengulang kesalahan yang sama: membodohi kita, masyarakat, dengan jawaban-jawaban tanpa tanggung jawab? Sementara Presiden Jokowi dengan Nawacitanya berjanji akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Kami tahu betul bahwa TIM Pencari Fakta (TPF) Munir sudah menyerahkan secara resmi hasil penyelidikannya kepada Presiden RI pada tanggal 11 Mei 2005. Tentu saja saya akan terus menagih janji, siapapun presidennya, untuk menuntaskan kasus Pembunuhan Munir dengan mempublikasikan rekomendasi TPF Munir sebagai langkah awal.
Bekerjalah untuk Keadilan, Presiden Jokowi. Kami menunggu implementasi atas pernyataan dan janjimu.
Penulis:
Suciwati, istri mendiang pahlawan HAM Munir. Suciwati merupakan pegiat HAM dan ketua dewan pembina Museum HAM Omah Munir.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.