Sri Mulyani: Sikap Anti Cina Digerakkan "Beberapa Orang"
2 November 2017Ada yang tidak lazim ketika seorang menteri keuangan harus berbicara mengenai kebangkitan fundamentalisme agama di panggung politik ketika mencoba mengundang investor asing. Tapi hal itu yang dilakukan Sri Mulyani ketika diundang dalam pertemuan dengan Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) di Hong Kong, Selasa (1/11).
Dia memperingatkan betapa ketegangan agama bisa berujung fatal bagi perekonomian Indonesia.
"Dalam kompetisi yang sangat ketat ini, mereka yang ingin memenangkan pemilu bisa menggunakan retorika apapun untuk menebar janji dan menciptakan jurang yang lebih dalam antara masyarakat, seperti yang Anda lihat di Amerika Serikat dan banyak negara lain," tuturnya kepada harian Financial Times di sela-sela pertemuan dengan Bank Investasi Infrastruktur Asia di Hong Kong.
Terutama meningkatnya sentimen anti Cina setelah Pilkada DKI Jakarta 2017 dianggap berpotensi mendorong investor menunda ekspansi bisnis di Indonesia. Tahun lalu Indonesia menyerap dana senilai 2,7 miliar Dollar AS dalam bentuk investasi langsung dari Cina. Negeri tirai bambu itu kini berada di posisi kedua setelah Singapura sebagai sumber investasi asing terbesar di Indonesia.
Sri Mulyani menilai sikap antipati terhadap investasi Cina digerakkan oleh "beberapa orang" yang ingin menutup pintu terhadap dunia luar. "Jika ada masalah dalam politik bahwa Indonesia semakin tidak ramah, itu digerakkan oleh beberapa orang yang berpikir Indonesia bisa menjadi bangsa yang homogen," jawabnya ketika ditanya harian Hong Kong, South China Morning Paper.
Media-media internasional terutama menyoroti kiprah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang lihai menempatkan politik identitas buat merajut dukungan di kalangan pemilih Muslim. Pidato "pribumi harus menjadi tuan di negeri sendiri" yang ia sampaikan di upacara pelantikannya itu dikhawatirkan semakin membumbui sikap anti Cina dan non-muslim di Indonesia.
Ironisnya fenomena semacam itu diramalkan dalam kesimpulan studi mengenai dampak fundamentalisme agama di Asia yang dibuat Friedrich Ebert Stiftung delapan tahun silam. "Bangsa yang lumpuh oleh fundamentalisme agama cendrung memiliki rapor buruk dalam pertumbuhan Produk Domestik Brutto, peningkatan daya beli dan Indeks Pertumbuhan Manusia. Negara-negara ini mengalami kemunduran dalam kebebasan fundamental dan hak-hak perempuan."
Namun Sri Mulyani meyakini Indonesia tidak akan jatuh ke jerat yang sama. "Kami memiliki komitmen yang kuat dan tidak bisa ditawar lagi terhadap keragaman. Artinya kami harus menghormati perbedaan," ujarnya. "Kami bukan negara konflik, kami bukan negara yang penuh kekerasan," imbuh Sri.
rzn/yf (ft, scmp, ap)