1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Siapa Tanggung Dosa Emisi? ICJ Segera Mulai Sidang Iklim

29 November 2024

Mahkamah tertinggi dunia minggu depan akan memulai sidang untuk menemukan "cetak biru hukum" yang mendorong negara-negara di dunia untuk mengurangi gas rumah kaca, dan merumuskan konsekuensi jika melanggar.

https://p.dw.com/p/4nZ2K
Mahkamah Internasional di Den Haag
Gedung Mahkamah Internasional, ICJ, di Den Haag, BelandaFoto: Remko de Waal/EPA

Mulai hari Senin (2/12) depan, advokat dan perwakilan dari lebih dari 100 negara dan organisasi lingkungan akan menyampaikan pendapat di hadapan Mahkamah Internasional, ICJ, di Den Haag, Belanda. Jumlah pakar yang diundang merupakan yang tertinggi dalam sejarah pengadilan.

Aktivis berharap pendapat hukum dari hakim ICJ akan memiliki konsekuensi yang luas dalam upaya mencegah krisis iklim.

Keampuhan pendapat hukum hakim ICJ yang diminta oleh PBB itu diragukan, karena bersifat tidak mengikat dan akan memakan waktu bulan atau bahkan tahunan untuk dikeluarkan.

Sidang di aula utama ICJ "Peace Palace" diadakan beberapa hari setelah kesepakatan pendanaan iklim sebesar USD300 miliar per tahun mulai 2035 dalam KTT COP29 di Azerbaijan.

Ilmuwan dan perwakilan negara-negara miskin sebelumnya menaksir kebutuhan pendanaan program adaptasi dan mitigasi mencapai USD1 triliun per tahun. Kendati beremisi rendah dan tidak bertanggung jawab atas pemanasan global, negara-negara ini cenderung rawan bencana iklim.

COP29 deal dubbed an 'illusion' by poor nations

Dua pertanyaan kunci bagi ICJ

Tahun lalu, Majelis Umum PBB mengadopsi sebuah resolusi yang merujuk dua pertanyaan kunci kepada para hakim ICJ.

Pertama, kewajiban apa yang dimiliki negara berdasarkan hukum internasional untuk melindungi sistem iklim Bumi dari emisi gas rumah kaca?

Kedua, apa konsekuensi hukum berdasarkan kewajiban ini, jika negara, "dengan tindakan dan kelalaiannya, telah menyebabkan kerusakan signifikan pada sistem iklim dan bagian lain dari lingkungan?"

Pertanyaan kedua juga dikaitkan dengan tanggung jawab hukum negara penghasil emisi atas kerusakan yang dialami negara-negara kecil yang lebih rentan. Hal ini berlaku khususnya untuk negara-negara yang terancam oleh naiknya permukaan air laut dan pola cuaca yang lebih buruk di tempat-tempat seperti Samudra Pasifik.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

"Perubahan iklim bagi kita bukanlah ancaman yang jauh," kata Vishal Prasad, direktur kelompok Mahasiswa Kepulauan Pasifik yang Melawan Perubahan Iklim (PISFCC).

"Perubahan iklim sedang menggodok ulang kehidupan kita saat ini. Pulau-pulau kita terancam. Komunitas kita menghadapi perubahan yang mengganggu pada tingkat dan skala yang belum pernah dialami oleh generasi sebelum kita," kata Prasad kepada wartawan beberapa hari sebelum dimulainya sidang.

Meluncurkan kampanye pada tahun 2019 untuk membawa isu iklim ke ICJ, kelompok Prasad yang terdiri dari 27 mahasiswa mempelopori konsensus di antara negara-negara kepulauan Pasifik termasuk negara asalnya, Fiji, sebelum dibawa ke PBB. Tahun lalu, Majelis Umum dengan suara bulat mengadopsi resolusi untuk meminta pendapat penasihat dari ICJ.

"Cetak biru hukum" bagi aksi iklim

Joie Chowdhury, seorang pengacara senior di Pusat Hukum Lingkungan Internasional di Amerika Serikat, mengatakan, kelompok iklim tidak berharap pendapat ICJ akan "memberikan jawaban yang sangat spesifik".

Sebaliknya, dia memperkirakan pengadilan akan merancang "cetak biru hukum, yang menjadi rujukan untuk memutuskan kasus yang lebih spesifik," katanya.

Pendapat hakim, yang dia prediksi akan dipublikasikan tahun depan, "akan menginformasikan litigasi iklim di tingkat domestik, nasional, dan internasional."

"Salah satu pertanyaan yang sangat penting, karena semua pertanyaan hukum bergantung padanya, adalah tindakan apa yang melanggar hukum," kata Chowdhury. "Itu sangat penting dalam proses ini," katanya. 

Developing nations slam COP29 climate deal as insufficient

Beberapa pencemar karbon terbesar di dunia -  termasuk tiga penghasil gas rumah kaca teratas, Cina, Amerika Serikat, dan India -  akan termasuk di antara sekitar 98 negara dan 12 organisasi dan kelompok yang dijadwalkan memberikan pernyataan sikap.

Pada hari Senin (2/12), sidang akan dibuka dengan pernyataan dari Vanuatu dan Melanesian Spearhead Group yang juga mewakili negara-negara kepulauan yang rentan seperti Fiji, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon serta Indonesia dan Timor Timur.

Di akhir sidang selama dua minggu, organisasi-organisasi dunia termasuk Uni Eropa dan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak, APEC, akan pula menyampaikan pandangan umum.

"Dengan pendapat hukum oleh ICJ, kita tidak hanya membicarakan apa yang kita takutkan akan hilang," kata Prasad dari PISFCC. "Kita di sini untuk membicarakan apa yang dapat kita lindungi dan apa yang dapat kita bangun jika kita bersatu," katanya.

rzn/hp (afp, Reuters)