Sel-sel JAD Masih Ada, Napiter Butuh Deradikalisasi “Ekstra"
8 Februari 2021Sebanyak 26 tersangka teroris tiba di landasan Apron Terminal Kargo Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten pada Kamis (04/02) pekan lalu dengan pengawalan ekstra Tim Gegana Brimob Polda Sulsel. Sebanyak 19 tersangka berasal dari Makassar, tiga di antaranya perempuan, dan tujuh tersangka dari Gorontalo.
Pada awal tahun 2021 ini, kepolisian menangkap 19 terduga teroris di lima lokasi penangkapan berada di tiga kabupaten berbeda. Selain di perumahan Villa Mutiara Cluster Biru yang menyebabkan MR dan SA tewas, tim gabungan Densus 88 Mabes Polri dan Polda Sulsel juga menangkap beberapa terduga teroris di Kelurahan Sudiang Raya, Kecamatan Biringkanaya, Makassar. Tiga lokasi penangkapan lainnya berada di Kecamatan Tallo Makassar, Kecamatan Somba Opu di Kabupaten Gowa, serta Desa Taulo, Kecamatan Alla di Kabupaten Enrekang.
Kapolda Sulsel Irjen Pol Merdisyam menyatakan para tersangka teroris merupakan kelompok Ustaz Basri dari jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang telah diintai Densus 88 sejak tahun 2015.
Lantas seperti apa kondisi sel-sel terorisme di Indonesia saat ini? DW secara eksklusif mewawancarai pengamat intelijen dan terorisme UI, Ridlwan Habib.
DW: Polisi menyebut penangkapan ini sebagai hasil pengintaian dari tahun 2015, apakah ini berarti sel-sel teroris JAD yang berbaiat ke ISIS masih merajalela di Indonesia?
Ridlwan Habib: Sebenarnya pengungkapan itu simultan dengan kasus-kasus lain yang sebelumnya terungkap, Densus 88 selalu bertindak seperti itu. Mereka mengembangkan satu kasus dari penangkapan sebelumnya yaitu penangkapan yang di Gorontalo, baru Makassar. Kronologinya, jejaring seperti ini kan berkelompok sistem sel, jadi biasanya jika satu atau dua tertangkap baru kemudian yang lain ikut terseret.
Kondisi saat ini estimasi kita masih ada sekitar 1.200 anggota JAD se-Indonesia. Jumlah itu diambil dari 470 anggota JAD yang sudah dipidana terorisme dan keluar dari penjara, mantan napiter. Asumsi kita separuh dari angka itu kembali lagi ke jaringan (teroris), dan 50% lainnya berhasil bertaubat dan sudah deradikalisasi.
Kita perkirakan satu orang menjaring atau merekrut lima orang, maka keluar angka 1.200 itu. Itulah mengapa ketika orang katakan deradikalisasi sukses atau berhasil, kita bilang 50:50 karena rata-rata di dalam penjara mereka justru merekrut orang baru.
Dari hasil pemeriksaan Densus 88 para tersangka teroris ini merupakan anggota FPI. Apakah mereka anggota JAD yang menyusup ke organisasi FPI atau memang tidak sedikit anggota FPI yang berbaiat ke ISIS?
Mereka adalah anggota FPI yang keluar dari FPI dan kemudian berbaiat kepada JAD. Jadi memang JAD itu mencari kader dari orang-orang berbagai organisasi, terutama organisasi-organisasi "tertentu” yang kritis terhadap pemerintah. Biasanya jika sudah masuk JAD, mereka akan meninggalkan organisasi lamanya.
Sorotan saat ini sebenarnya adalah pada saat deklarasi itu dihadiri oleh Munarman (Eks Sekretaris Umum FPI). Pengakuan Munarman, dia diundang sebagai pembicara sebuah diskusi atau seminar. Untuk menghentikan spekulasi ini, saya menyarankan baiknya Munarman diperiksa sebagai saksi agar spekulasi tidak berkembang luas dan publik tidak saling tuding.
Jika program deradikalisasi dikatakan hanya efektif 50%, lantas seperti apa solusi terbaik meluruskan ideologi narapidana terorisme?
Solusi terbaik menurut saya adalah melibatkan organisasi-organisasi besar Islam ya, seperti NU, Muhammadiyah, Wadah Islamiyah, MUI, dan lainnya. Jadi yang harus menasihati adalah orang-orang yang memahami ideologi mereka, bukan kelompok-kelompok dari ilmuwan nasionalis atau teman-teman moderat atau lainnya yang tidak memahami konsepsi tentang gerakan-gerakan seperti mereka, karena nantinya (nasihat itu) akan tertolak.
Saya kira ini yang harusnya diubah dari strategi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Apalagi sekarang ada sekretariat bersama pencegahan ekstremisme, nah itu yang menurut saya harus segera melibatkan ormas-ormas yang mempunyai kemampuan memahami (istilahnya) bahasa mereka.
Kapolda Sulsel menyatakan satu dari tersangka terorisme diketahui telah memiliki rangkaian bom. Biasanya apa yang menjadi target mereka? Apakah area publik atau tempat peribadatan agama lain?
Mereka targetnya bisa sangat variatif ya. Pokoknya orang atau kelompok yang mereka nilai menghalangi akan dianggap sebagai target, misalnya polisi atau pemerintah yang memiliki banyak simbol di ruang publik.
Karena fatwa dari ISIS sangat umum, target JAD berbeda dengan Al Qaeda yang hanya menyerang kepentingan Amerika Serikat (AS).
Seperti apa proses hukum lanjutan yang akan dijalani 26 teroris asal Makassar dan Gorontalo?
Kalau penindakan terorisme selalu terpusat dan proses sidangnya juga terpusat, di Jakarta. Proses penyidikan diambil alih Densus 88 Mabes Polri. Tetapi penahanannya biasanya disesuaikan dengan tempat saat mereka ditangkap. Kalau misalnya narapidana tersebut seorang ideolog dengan ancaman penjara 15 tahun ke atas, maka akan ditempatkan di Nusa Kambangan. Beda kalau levelnya hanya kurir dengan ancaman 5 tahun penjara, maka biasanya akan dikembalikan ke daerah asal mereka saat ditangkap.
Wawancara untuk DW Indonesia dilakukan oleh Hani Anggraini dan telah diedit sesuai konteks.