1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Sederet Catatan BPOM soal Vaksin Nusantara Besutan Terawan

12 Maret 2021

Vaksin Nusantara besutan dr Terawan Agus Putranto mendapat sejumlah catatan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Mulai dari khasiat yang belum terjawab, hingga tak terpenuhinya good clinical practice.

https://p.dw.com/p/3qWAE
dr Terawan Agus Putranto
dr Terawan Agus PutrantoFoto: Ministry of Transportation/D. Pieterz-Kemenhub

Dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi IX DPR RI, Rabu (10/03), Terawan buka-bukaan tentang pengembangan vaksin yang awalnya bernama vaksin Joglosemar tersebut. Rupanya, Terawan sudah merintisnya sejak 2015.

"Sejak 2015 saya sudah mengembangkan proses cell dendritic vaccine di cell cure center RSPAD Gatot Subroto sehingga ini terus berkembang sehingga begitu ada ide untuk dentrikti vaksin untuk COVID-19, gayung jadi bersambut," kata dr Terawan.

Vaksin tersebut saat ini telah menyelesaikan uji klinis fase 1. Hasilnya masih dikaji oleh BPOM dan mendapat sejumlah catatan.

Beberapa catatan BPOM tentang vaksin tersebut terangkum sebagai berikut:

Khasiat dipertanyakan

Uji klinis fase 1 vaksin Nusantara dilakukan pada 3 pilot subject (3 orang pertama) dan 28 unblinded subject. Dalam tahap ini, para peneliti memastikan keamanan dan manfaat yang didapat dari vaksin.

Dari sisi keamanan, dilaporkan 14,2 persen subjek mengalami gejala lokal ringan, seperti nyeri, kemerahan, pembengkakan, dan rasa gatal pada bekas suntikan. Selanjutnya, sebanyak 39,2 persen subjek mengalami reaksi sistemik ringan, seperti nyeri sendi dan sakit kepala.

"65,6 Persen keluhan derajat ringan, sisanya kategori derajat 2. Tidak didapatkan kejadian serious adverse event pada seluruh subjek di fase 1," ucap Tim Peneliti RSUP dr Kariadi Semarang, Dr dr Muchlis Achsan.

Sementara itu, dari sisi imunogenitas atau efikasi, dr Muchlis mengklaim adanya peningkatan yang konsisten di semua panel pemeriksaan.

"Menurut kami perlu dilanjutkan dengan uji klinis fase 2 dengan subjek yang lebih besar," ungkap dr Muchlis.

Sementara itu, Kepala BPOM Penny K Lukito menilai uji klinis fase 1 belum menjawab khasiat vaksin nusantara. Pemenuhan good clinical practice dinilai tidak dipenuhi dalam riset tersebut.

"Di dalam penelitian ini juga ada profil khasiat vaksin yang jadi tujuan sekunder yang harus dijawab, karena bukan hanya aspek keamanan saja ya tapi juga ada di dalam tujuan sekunder tersebut adalah di mana juga penelitian ini harus menunjukkan profil khasiat vaksin yang menjadi tujuan sekunder," jelas Penny.

Tak ada uji preklinis pada hewan

BPOM menyebut, vaksin Nusantara tidak melalui uji preklinis pada hewan. Menurut BPOM, tahap ini penting untuk memastikan keamanan vaksin sebelum diuji coba kepada manusia.

Menanggapi hal ini, dr Terawan berdalih uji klinis pada hewan sudah dilakukan di AIVITA Biomedical, Amerika Serikat. Selain itu, tim peneliti juga beralasan teknologi sel dendritik sudah sering digunakan pada terapi kanker.

"Saya sudah WA-kan hasil uji klinik mengenai vaksin safety dan efikasi oleh pihak ketiga di Amerika karena itu sudah dikerjakan dan itu hasilnya ada kita kan kirimkan vaksin safety dan efikasi pada uji binatang ini juga sudah kita konsultasikan ke Prof Nidom sudah saya kirim," jelas dr Terawan.

Guru Besar Unair Prof Chairul A Nidom pun telah meyakini bahwa laporan hasil uji preklinis tersebut sudah sesuai dengan uji atau penelitian vaksin pada umumnya.

Pengawasan etik lemah

Keberadaan komite etik juga menjadi sorotan BPOM pada uji klinis fase 1 vaksin nusantara. Menurut Penny, komite etik harus berada di tempat penelitian dilaksanakan, karena keselamatan subjek penelitian merupakan tanggung jawab dari komite etik.

"Komite etik dari RSPAD tapi pelaksanaan ada di Unair," ucap Penny memberikan catatan.

"Penelitian ini dilakukan di RS Kariadi Semarang, bekerja sama dengan Diponegoro sebagai RS penelitian besar, dalam hal ini saya kira pada tempatnya RS Kariadi Semarang memiliki komite etik yang mengawasi pelaksanaan uji klinik di RS-nya," pungkasnya.

Menunggu klarifikasi peneliti

Hasil review tersebut sedianya akan dimintakan klarifikasi kepada tim peneliti. PPUK (persetujuan pelaksanaan uji klinik) hingga saat ini belum dikeluarkan karena pembahasan dengan peneliti belum dilakukan.

Pembahasan dengan peneliti akan menentukan bisa tidaknya uji klinis vaksin nusantara dilanjutkan ke fase 2. Namun BPOM mengklaim, pihak peneliti selama ini tidak merespons ajakan untuk membahas hal tersebut dengan cepat.

"Jadi kita baru sepakat bahwa akan tanggal 16 Maret, jadi saya kira bersabar berikan waktu untuk ada proses dengan tim penelitinya sebagai bagian dari proses kita mereview fase uji klinik satu sebelum bisa berlanjut ke fase kedua, yang akan dilakukan pada tanggal 16 tersebut," tutur Penny. (Ed: gtp/rap)

 

Baca artikel selengkapnya di: DetikNews

Sederet Catatan BPOM Soal Kelanjutan Vaksin Nusantara dr Terawan