Secercah Harapan Baru Bagi Libya?
16 Februari 2021Selama beberapa tahun terakhir, orang Libya tidak lagi merayakan ulang tahun revolusi 17 Februari dengan peringatan menggembirakan. Bertahun-tahun negara itu terpecah antara timur dan barat, dengan kedua belah pihak dikendalikan otoritas yang berbeda: Tentara Nasional Libya dipimpin oleh komandan militer Jenderal Khalifa Haftar di timur, dan pemerintah Libya yang diakui secara internasional di bawah Fayez al-Sarraj.
Tahun ini, ulang tahun revolusi yang kesepuluh, banyak yang berharap akan ada perubahan. Sejak Oktober tahun lalu, tercapai gencatan senjata yang ditengahi PBB antara faksi-faksi utama yang bertikai. Lalu bulan Januari tahun ini, 75 anggota delegasi yang dipilih oleh PBB untuk mewakili berbagai kelompok kepentingan Libya berkumpul di Swiss dan menyepakati pembentukan "pemerintahan persatuan", yang akan menjalankan negara dan menyiapkan pemilihan umum baru akhir tahun ini.
Anggota delegasi memilih diplomat Libya Mohammad Younes Menfi, seorang diplomat yang didukung fraksi timur untuk memimpin dewan kepresidenan dan pengusaha Abdul Hamid Mohammed Dbeibah, yang didukung oleh fraksi barat, sebagai perdana menteri sementara.
Pemerintahan baru, harapan baru
Dapatkah perkembangan terbaru ini mengakhiri satu dekade kekacauan dan warga Libya dapat merayakan 10 Tahun Revolusi bersama-sama?
"Saya harap begitu," kata Tarek Megirisi, analis Libya dan hubungan luar negeri di Dewan Eropa. "Di seluruh negeri, orang ingin merayakan ini sebagai hari perubahan."
Selama masa perpecahan, Libya timur dan Libya Barat memperingati 17 Februari secara berbeda. Sementara pemerintah Libya membuat "perayaan palsu", segala jenis perayaan di Benghhazi, markas kubu pemberontak, ditekan karena alasan politik,” jelasnya.
Ini hanyalah sebagian dari cerita kompleks Libya sejak diadakan pemilu pertama pada tahun 2012, setahun setelah penggulingan Moammad Ghaddafi dari kursi kekuasaan pada 2011.
Perang proxy kekuatan asing
Pada tahun 2014, setelah hasil pemilu menimbulkan sengketa dan menyulut pertempuran, kekuatan-kekuatan asing menjadi lebih terlibat. Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab misalnya mendukung Jenderal Haftar di timur, sebagian karena dia penentang utama gerakan Ikhwanul Muslimin di Libya yang dianggap berbahaya.
Sedangkan Turki dan Qatar mendukung "Pemerintah Kesepakatan Nasional" di barat yang bermarkas di ibu kota Tripoli. Negara-negara barat juga terpecah, sebagian mendukung Tripoli, sebagian mendukung Benghazi.
Potensi geo-politik Libya dan kekayaan minyaknya memang jadi rebutan banyak pihak. Selain itu, Libya memainkan peran penting dalam krisis pengungsi di Eropa, karena sebagian besar pengungsi menjadikan Libya sebagai basis untuk berangkat mencari kehidupan yang lebih baik.
(hp/pkp)