Rusia Picu Perang Dingin Baru?
17 November 2014KTT G-20 di Brisbane Australia, walaupun sejatinya membahas masalah ekonomi dan keungan global, tapi nyatanya pertemuan puncak yang baru usai itu lebih kental diwarnai konflik Ukraina. Banyak pengamat di Eropa menilai, konflik ini merupakan pintu masuk ke era perang dingin baru.
Terbukti pula, upaya pendekatan kanselir Jerman, Angela Merkel terhadap presiden Rusia, Vladimir Putin tidak berhasil membuahkan solusi. Konfrontasi baru antara Rusia dan barat, seperti sudah diketahui disulut oleh aneksasi Moskow atas Krimea yang memicu ketidakpastian bagi masa depan Ukraina. Sementara politik destabiliasi di timur Ukraina, makin mempertajam masalah.
Akan tetapi, barat jangan sampai histeris dan bisa dipaksa menciptakan perang dingin baru oleh presiden Rusia, Vladimir Putin. Yang diperlukan sekarang adalah sikap bijak, visi pada peluang riil serta ancaman bahaya dan tentu saja sebuah strategi baru.
Politik Rusia banyak menciptakan ketidak percayaan dan kekecewaan. Tapi diplomasi barat harus mematok target penting, tetap menjalin dialog dengan Putin. Jika tercipta kepercayaan mendasar minimal, dapat dimungkinkan kesepakatan jangka panjang.
Sebaliknya, juga terdapat ancaman bahaya besar bagi perdamaian dunia, jika dari pertunjukan kekuatan Rusia, berupa manuver pesawat pembom di atas Atlantik Utara dan pengiriman kapal perang ke Australia, berkobar eskalasi yang tidak bisa dikendalikan.
Lebih jauh lagi, barat dan pemerintah di Kiev harus menerima realita tidak sedap, bahwa tanpa keikutsertaan Moskow, praktis mustahil mengubah kondisi ekonomi dan sosial di Ukraina menjadi lebih baik.
Karena itu penting adanya konsep yang disepakati bersama oleh pimpinan negara di Kiev dengan pemerintahan negara-negara barat, untuk membuat tawaran kepada Kremlin terkait target politik Rusia. Tentu saja konsep ini tidak boleh menjadi pengakuan dari kawasan pengarun neo-impersialisme.
Tapi sebuah kompromi juga bisa berarti bahwa Ukraine secara politik keamanan tetap netral dan untuk sementara tidak berusaha menjadi anggota NATO. Sekaligus asosiasi Ukraina ke Uni Eropa tidak menciptakan kerugian bagi Rusia, serta desentralisasi dengan otonomi lebih besar bagi kawasan.
Memang bisa dimengerti, dimanapun muncul kejengkelan dan ketidak percayaan dan imbauan untuk melakukan kompromi, akan cepat dicap oleh barat sebagai politik mengelakkan konflik yang naif. Sebab kenyataannya bahaya tetap mengancam.
Juga sudah jelas bahwa kembali menggalang hubungan Rusia-Barat seperti sebelum krisis pecah, tidak akan bisa terwujud dengan cepat. Banyak hal yang harus diubah, sebelum kembali dibahas kemitraan strategis.
Namun semua upaya itu tidak akan ada artinya, tanpa membuat sebuah kompromi dengan Rusia. Presiden Vladimir Putin tahu persis bagaimana situasinya. Itu sebabnya, selama KTT G20 di Brisbane ia bersikap ngotot dan tidak mau mengalah.