Rusia Gencarkan Serangan "Fake News"
11 Januari 2017Moskow diduga terus menggencarkan serangan siber berupa gelombang fake news dan hoax terhadap sejumlah negara barat. Sasaran utama yang sudah berhasil dipecundangi adalah Amerika Serikat. Namun dinas intelejen Jerman juga mengakui adanya gelombang serangan kabar bohong yang makin kencang menjelang pemilu di negara itu.
Sementara organisasin untuk keamanan dan kerjasama Eropa OSCE juga melaporkan adanya gelombang serangan siber yang diduga dari Rusia, yang makin gencar sejak bulan Desember silam. Tapi sejauh ini belum ada bukti konkrit maupun langkah signifikan untuk membendung gelo,bang fake news tersebut.
Negara yang sudah merasakan pahitnya serangan kabar palsu itu adalah Amerika Serikat. Berkaitan dengan dugaan serbuan hoax dari Rusia, para kepala dinas intelejen Amerika Serikat pekan lalu memaparkan hasil invesitgasi mereka kepada presiden terpilih Donald Trump dan presiden petahana Barack Obama, yang menunjukkan adanya kegiatan "mencemaskan" dari Rusia. Dalam sinopsis dua halaman, ditunjukkan data panas dan gawat terkait Trump walau belum diverifikasi.
Dalam pemaparan hasil kerja intelejen, kepala dinas rahasia AS menyebutkan, dinas operasi intelenj Rusia memiliki data pribadi dan data finansial Donald Trump. Demikian laporan media-media AS Selasa (11/01). Trump langsung bereaksi dengan melontarkan cuitan : "Fake News - A Total Political Witch Hunt".
Media online Buzzfeed mempublikasikan sebuah memo 35 halaman tanpa menjelaskan kontennya, yang dijadikan rujukan sinopsis dari dinas intelejen Amerika.n Disebutkan, memo tersebut sudah beredar sejak berbulan-bulan di Washington.
Rentetan skandal Trump
Memo tersebut menyebutkan adanya rekaman video yang melibatkan pelacur saat Donald Trump mengunjungi hotel mewah di Moskow tahun 2013 lalu. Juga ada laporan mengenai deal bisnis menguntungkan dari pejabat Rusia, untuk menanamkan pengaruh Moskow terhadap milyarder raja real estate AS itu.
Kumpulan data yang dipublikasikan, aslinya berasal dari kompilasi yang dibuat mantan anggota dinas rahasia Inggris M-16 yang direkrut oleh kandidat pesiang Trump dalam pemilu presiden AS. CNN melaporkan, pengumpulan data itu adalah riset tandingan bermotiv politik terhadap Trump yang dilakukan pertengahan tahun 2016 lalu.
Selama masa kampanye pemilu presiden, Trump terus diisukan menjalin hubungan erat dengan presiden Rusia, Vladimir Putin. Bahkan kubu partai Demokrat yang kalah pemilu, menuding bahwa Putin secara pribadi langsung menjadi komandan pasukan buzzer untuk menyerang Hillary Clinton demi kemenangan Trump. Salah satu aksinya, antara lain membongkar kasus email pribadi sertav skandal kandidat Demokrat itu.
as/ap (dari berbagai sumber)