Rumah Tahan Gempa dengan Harga Terjangkau, Mungkinkah?
1 Desember 2022Gempa di Kabupaten Cianjur pada 21 November 2022 berkekuatan 5,6 skala Richter dengan kedalaman 10 kilometer meluluhlantakkan banyak bangunan. Lebih dari 320 orang tewas setelah gempa akibat tertimpa bangunan dan dampak lainnya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan setidaknya 327 korban jiwa per 29 November 2022.
BNPB juga menyatakan ribuan orang terpaksa mengungsi meninggalkan reruntuhan rumah mereka. Banyak bangunan rumah, gedung, tempat ibadah, dan bahkan sekolah runtuh akibat lindu yang getarannya terasa sampai Jakarta dan Bandung.
Sementara Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan rumah-rumah warga yang rusak parah berada tepat di titik pusat gempa dan ditambah dengan kondisi konstruksi bangunan yang buruk.
Ia menjelaskan, warga bisa membangun kembali rumah mereka di lokasi yang sama asalkan memenuhi dua syarat, yaitu konstruksi bahan bangunan tahan gempa dan jarak setidaknya 100 meter radius dari episentrum gempa.
Lalu seperti apa bentuknya konstruksi tahan gempa itu?
Bangunan tanpa semen dan bata
Konsep rumah dan bangunan dengan konstruksi yang relatif tahan gempa telah dikembangkan oleh banyak pihak, salah satunya oleh pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Rumah dengan konsep ini mereka sebut dengan RISHA atau Rumah Instan Sederhana Sehat. Menurut kementerian, proses pembangunannya tergolong cepat dan murah.
Sugeng Paryanto Kepala Sub Direktorat Teknologi dan Peralatan Infrastruktur Cipta Karya, Kemen PUPR mengatakan RISHA adalah rumah dengan konsep knock down atau bongkar pasang.
Rumah RISHA tidak memerlukan semen dan bata, ujar Sugeng Paryanto. Proses membangunnya dengan merakit panel-panel beton dengan baut, kata Sugeng kepada DW Indonesia saat ditemui di Gedung Auditorium Kemen PUPR, Jakarta.
"Kementerian mengembangkan RISHA sekitar tahun 2004 sebelum bencana tsunami di Aceh," ujar Sugeng. Dia menambahkan ada sekitar 10.000 unit RISHA yang sudah dibangun di Aceh.
Pemerintah pun menggandeng sekitar 50-an perusahaan konstruksi untuk menerima pelatihan pembangunan RISHA. Perusahaan-perusahaan konstruksi tersebut tersebar di delapan provinsi meliputi Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Maluku, jelas Sugeng.
"Saat ini sudah ada 2.000 unit komponen RISHA walaupun belum dirakit," kata Sugeng kepada DW Indonesia di sela-sela acara Peluncuran Buku Peta Deagregasi Bahaya Gempa Indonesia untuk Perencanaan dan Evaluasi Infrastuktur Tahan Gempa di Jakarta.
RISHA bisa dijumpai di beberapa daerah di Indonesia yang pernah dilanda bencana alam. Misalnya, di Lombok ada kurang lebih 10.000 unit yang dibangun setelah gempa Lombok pada tahun 2018. Lalu, di Lumajang, pemerintah membangun sekitar 1.950an unit RISHA dalam kurun waktu tiga bulan usai erupsi Gunung Semeru di tahun 2021, papar Sugeng Paryanto.
"Di Cianjur akan dibangun sekitar 500 RISHA yang stoknya diambil dari aplikator di Jawa Barat."
Tidak harus tunggu bencana
Namun, upaya memasyarakatkan konstruksi bangunan tahan gempa terutama RISHA masih terkendala beberapa hal, utamanya masalah pemasaran. Pemasaran perlu dilakukan agar konsep rumah yang bisa bertahan di tengah guncangan gempa semakin dikenal masyarakat yang tinggal di wilayah di jalur cincin api.
"Developer perumahan tidak bisa mendapatkan allowance kredit, karena bank menganggap RISHA bukan rumah permanen," kata Sugeng Paryanto dari Kemen PUPR.
Menurutnya, RISHA yang tahan gempa ini bisa dikomersialkan tanpa harus menunggu datangnya bencana. Apalagi, konsep RISHA juga termasuk rumah tumbuh yang artinya pemilik bisa menambahkan konstruksi baik secara vertikal maupun horizontal, tambahnya.
"Harga konstruksi struktur tahan gempa ini sekitar 50 juta rupiah sudah layak huni," kata Sugeng kepada DW Indonesia.
Sementara itu, Sugeng Prihatin, manager operasional CV Kembang di Bogor yang khusus membangun rumah berkonsep RISHA, mengatakan bahwa membandingkan RISHA dengan rumah konvensional itu tidak sepadan. Apalagi para pekerja yang merakitnya perlu memiliki sertifikasi keterampilan khusus membangun dan merakit RISHA, tutur Sugeng.
"Bangunan layak huni tipe 36 harganya sekitar 62,5 juta rupiah sampai 80 juta rupiah," ujar Sugeng Prihatin menerangkan harga rumah rakitan RISHA. Namun ia menambahkan bahwa harga tersebut belum termasuk harga tanah.
Bisa diterapkan ke bangunan lain
Sugeng Prihatin segera mengirimkan lusinan foto konstruksi tahan gempa saat DW Indonesia meminta contoh karya mereka.
Laki-laki yang berlatar belakang pendidikan teknik sipil ini menuturkan bahwa konsep bangunan seperti RISHA bisa dikembangkan ke bangunan lainnya.
"Asosiasi tempat kami bernaung membangun konstruksi tahan gempa seperti puskesmas, musala, dan masjid," kata Sugeng.
"Struktur polanya known down tahan gempa sampai 7 skala Richter," tegas Sugeng kepada DW Indonesia melalui sambungan telepon.
Sugeng beserta Asosiasi Aplikator Rumah Panel Indonesia (Artelindo) pernah terlibat membangun RISHA di Lombok dan Lumajang. Malah, CV Kembang Bogor pun pernah mendirikan sekolah tahan gempa di Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara.
"Kami berpikir idealis sekolah berbasis mitigasi (bencana) dengan konsep natural," kata Sugeng. Dinding sekolah tersebut dilengkapi dengan lubang angin berukuran kecil agar ada sirkulasi udara di ruang kelas dan terpapar sinar matahari, tutur Sugeng.
Karya Sugeng dan rekan-rekannya bisa dilihat dari konstruksi bangunan tahan gempa pada Sekolah Dasar Negeri Cibantala 1 dan Sekolah Dasar Negeri Kidang Kencana. Dua sekolah tersebut terletak di Kecamatan Cilaku, Kabupaten Cianjur. Perusahaan tempat Sugeng bekerja mendirikan sembilan sekolah tahan gempa yang tersebar di beberapa kecamatan di kabupaten Cianjur.
"Alhamdulillah, sembilan sekolah aman semua," ucap Sugeng penuh rasa lega. (ae)