131211 Libyen Rebellen
14 Desember 2011Dalam beberapa hari ini, kembali puluhan ribu demonstran turun ke jalan. Mereka berdemonstrasi menentang Dewan Transisi Nasional serta ketuanya, Mustafa Abdel Jalil. Para demonstran menuntut kebebasan berpendapat. Dan mereka pun ingin mencegah para mantan pendukung Gaddafi menduduki posisi penting dalam pemerintahan baru Libya. Mereka menuntut sebuah „revolusi baru“. Aksi protes ini kembali dipusatkan di Benghazi, kota yang selama masa revolusi menjadi kubu para pemberontak.
Muka Lama dalam Pemerintahan
Menurut pengamat Libya, Andreas Dittmann dari Universitas Gießen, para revolusiener, menginginkan perjuangan mereka mencapai keberhasilan. Andreas Dittmann mengatakan, "Mereka adalah warga muda yang idealis, termasuk banyak perempuan yang dulu memulai dan terjun dalam revolusi. Mereka tersingkirkan Dewan Transisi Nasional. Sementara pejabat lama dirangkul. Perkembangan ini tidak akan membawa perdamaian. Jika revolusioner Libya merasa bahwa pemerintahan baru merupakan pengulangan dari rezim lama, maka seperti di Mesir, kemungkinan akan terjadi revolusi ke-dua."
Juga para aktivis hak asasi manusia mengkritik kurangnya transparasi kepemimpinan politik di Libya. Beberapa undang-undang yang telah ditetapkan oleh Dewan Transisi Nasional masih belum dapat diakses publik, dikatakan Fres Abrahams dari organisasi Human Right Watch.
Pemerintahan Tanpa Politisi Oposisi
Menanggapi demonstrasi yang kembali marak di Libya, Ketua Dewan Transisi Mustafa Abdel Jalil mengimbau agar para pengunjuk rasa bersabar. Dikatakannya, dalam waktu dekat, profil seluruh anggota Dewan Transisi akan dipublikasikan di internet. Masyarakat dapat mengetahui siapa saja yang memimpin mereka.
Janji ini telah berhasil menenangkann situasi, dikatakan Andreas Dittman. Akan tetapi kecil kemungkinan bahhwa Libya dapat membentuk satu pemerintahan tanpa mengikutsertakan muka lama. "Di Libya tidak terdapat partai oposisi, sehingga Dewan Transisi tidak dapat dibentuk dengan mengikutsertakan politisi oposisi. Dalam pemilihan anggota, terdapat hanya dua pilihan: mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman politik atau mereka, yang meskipun dulu termasuk dalam rezim lama, tapi ideologinya tidak sekeras rezim lama.“
Milisi Bersenjata Ancam Perdamaian
Tapi bukan hanya demonstrasi baru-baru ini yang menunjukkan betapa rapuhnya perdamaian di Libya. Pertempuran dan bentrokan berdarah antara kelompok milisi kerap terjadi. Hari Senin lalu (12/12) juga terjadi pertempuran di selatan Tripoli, menewaskan beberapa orang.
Secara keseluruhan, saat ini di Libya terdapat 120 kelompok yang disebut Brigade, kelompok yang turut bertempur dalam menggulingkan Gaddafi. Kini banyak warga yang merasa kehadiran milisi bersenjata ini sebagai ancaman bagi perdamaian.
Dewan Transisi Nasional telah berjanji untuk secepatnya mengeluarkan hukum dan peraturan. Dewan Transisi Nasional juga mengimbau para milisi untuk menyerahkan senjata mereka. Seperti dikatakan Abdulrazig Alaradi, seorang anggota dewan, "Kami mengatakan kepada pejuang revolusi: kami berterima kasih. Tuhan memberkati kalian. Tapi pertempuran kini telah usai. Sekarang kita ingin membangun sesuatu yang baru. Kalian harus menarik diri. Di masa depan masalah keamanan menjadi tugas Kementrian Pertahanan dan Kementrian Dalam Negeri."
Pengamat Libya Andreas Dittmann melihat satu aspek penting lain bagi perdamaian Libya: pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan lain di masa Gaddafi harus dibawa ke pengadilan dan tanpa campur tangan Pengadilan Internasional. Untuk pembangunan negeri ini, dikatakan Andreas Dittmann, sangatlah penting bagi Libya untuk berusaha menyelesaikan masa lalu mereka sendiri.
Monika Dittrich/Yuniman Farid Editor: Hendra Pasuhuk