Rencana UE Kirim Utusan Khusus ke Suriah Menyulut Kemarahan
28 November 2024Seiring berlanjutnya krisis di Timur Tengah, Uni Eropa (UE) telah menyatakan ingin lebih terlibat di Suriah. Setelah perang bertahun-tahun perang, situasi warga sipil semakin genting.
Keterlibatan Uni Eropa yang diperluas akan mencakup lebih banyak kehadiran di lapangan, yang mungkin menjadi alasan mengapa Michael Ohnmacht, Kepala Delegasi Uni Eropa untuk Suriah, baru-baru ini mempublikasi video dirinya di ibu kota, Damaskus.
Namun, Ohnmacht tidak mendapatkan reaksi yang mungkin ia inginkan. Di mana pun videonya muncul, reaksinya negatif.
"Jangan lupa mengunjungi makam teman-teman saya," saran Yaman Zabad, seorang peneliti Suriah di sebuah lembaga think tank di Istanbul.
"Anda enak," tulis Shadi Martini, Kepala Lembaga Amal Multifaith Alliance yang berbasis di New York, Amerika Serikat. "Saya tidak dapat mengunjungi rumah saya di Suriah atau bahkan menghadiri pemakaman kedua orang tua saya, karena presiden Suriah saat ini (Bashar al-Assad), yang menyiksa dan membunuh siapa pun yang tidak setuju dengannya."
Uni Eropa ingin formulasi ulang kebijakan tentang Suriah
Reaksi marah serupa juga muncul setelah munculnya usulan untuk lebih melibatkan Uni Eropa di Suriah. Pada awal November, sebuah 'dokumen' rahasia yang dikenal dengan sebutan non-paper diedarkan oleh Komisi Uni Eropa.
Dalam bahasa Uni Eropa, non-paper didefinisikan sebagai dokumen informal yang disajikan "untuk mencari kesepakatan tentang beberapa prosedur atau masalah kebijakan yang kontroversial."
Non-paper ini merupakan tanggapan terhadap surat yang dirilis pada bulan Juli dan ditandatangani delapan negara. Surat ini menyatakan bahwa kebijakan Uni Eropa terhadap Suriah perlu disesuaikan dengan perubahan yang terjadi di lapangan sejak dimulainya perang saudara Suriah pada 2011.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Sejak perang dimulai, UE telah menyumbang sekitar €33,3 miliar dalam bentuk bantuan terkait masalah Suriah dan menerima hingga 1,3 juta pengungsi Suriah. Surat bulan Juli tersebut dikirim oleh Austria, Siprus, Italia, Yunani, Republik Ceko, Slowakia, dan Slovenia.
Ini adalah negara-negara yang bermasalah dengan imigrasi ilegal, atau yang pemerintahan sayap kanannya semakin antiimigrasi, atau keduanya.
Rumor yang beredar, utusan tersebut akan melapor langsung kepada Kepala Komisi Eropa, Ursula von der Leyen.
Posisi UE terhadap Suriah sering disebut sebagai kebijakan three no's. Yaitu, "tidak ada normalisasi, tidak ada pencabutan sanksi, dan tidak ada bantuan rekonstruksi sampai rezim Suriah terlibat secara berarti dalam proses politik."
Usulan tersebut tidak diterima dengan baik oleh aktivis hak asasi masalah Suriah. "(Proposal ini) berisiko menyiratkan adanya penerimaan internasional terhadap rezim Assad," kata Laila Kiki, Direktur Eksekutif The Syria Campaign, organisasi hak asasi manusia yang berpusat di London, kepada DW.
Meski demikian, para analis menunjukkan bahwa mungkin ada beberapa manfaat untuk meninjau kembali kebijakan UE tentang Suriah. "Jelas bahwa belum ada strategi Eropa yang berarti untuk Suriah selama beberapa waktu," kata Julien Barnes-Dacey, direktur program Timur Tengah dan Afrika Utara di Dewan Eropa untuk Urusan Luar Negeri.
Jika UE sepenuhnya terus menjauh dari Suriah, "UE tidak dapat berbuat banyak untuk mendukung warga Suriah yang berusaha bertahan hidup di bawah kekuasaan rezim tersebut, dan tidak dapat berharap untuk bersaing dengan negara-negara seperti Rusia dan Iran," katanya. Namun, UE tidak boleh melegitimasi "kebrutalan mengerikan" rezim Assad.
Tergantung niat UE
Bagi mereka yang menentang gagasan utusan khusus, sebagian besar masalahnya adalah siapa yang akan mendorong gagasan itu dan apa motifnya.
"Jelas ada beberapa negara Eropa, yang sebagian besar termotivasi oleh keinginan untuk memulangkan pengungsi, yang sama sekali tidak menyadari praktik pemaksaan rezim," Barnes-Dacey mengakui. Namun, itulah mengapa lebih penting bagi UE untuk memperbarui posisi bersama, katanya, daripada membiarkan masing-masing negara anggota bertindak sesuka hati.
Karam Shaar, peneliti senior nonresiden di New Lines Institute yang juga menjalankan konsultannya sendiri yang mengkhususkan diri dalam ekonomi Suriah, percaya bahwa beberapa negara UE "sungguh-sungguh ingin mempertimbangkan kembali pendekatan UE terhadap Suriah."
Tidak ada yang berubah di Suriah dalam satu dekade
Pertanyaan lain tentang utusan khusus adalah apa yang dapat mereka capai, selain mungkin menenangkan politisi kritis di dalam negeri. Sejauh ini, baik negara tetangga Suriah, Liga Arab, maupun pihak lain tidak berhasil memaksa atau membujuk rezim Assad untuk mengubah perilakunya.
Itu benar-benar tergantung pada apa yang ingin dicapai UE, kata Shaar kepada DW. "Jika utusan khusus membuka saluran untuk melihat bagaimana cara berpikir, seperti apa struktur insentif yang dimiliki rezim Assad, hal itu dapat dimengerti," katanya.
Mantan pengacara Abdel Nasser Hoshan, 56 tahun, yang tinggal di kamp pengungsi di Idlib, Suriah utara dan mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia di sana, mengatakan bahwa alasan awal kebijakan UE tidak berubah.
Ia mencontohkan penangkapan sewenang-wenang terhadap 450 orang yang kembali ke Suriah. Enam orang yang kembali juga meninggal, termasuk karena disiksa di penjara rezim, kata Hosham.
Seiring dengan banyaknya warga Suriah yang melarikan diri dari kekerasan di Lebanon dan kembali ke Suriah, organisasi hak asasi manusia seperti Human Rights Watch dan Jaringan Hak Asasi Manusia Suriah juga melaporkan kasus penghilangan paksa dan penyiksaan, meski jumlahnya lebih sedikit.
Jika UE menunjuk utusan khusus di Damaskus, Hoshan tidak melihat manfaat apa yang dapat diberikannya kepada dirinya atau warga Suriah lainnya.
"Saya tidak yakin kantor ini dapat memantau atau memengaruhi perilaku rezim atau membatasi pelanggarannya," ujarnya. "Rezim menganggap UE sebagai pihak yang bermusuhan, dan telah sangat mahir menggunakan upaya normalisasi untuk melegitimasi diri dan membenarkan kejahatannya."
Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris