Presiden Jerman Wulff Tiba di Jakarta
30 November 2011Setelah mengunjungi Bangladesh, Rabu (30/11) Presiden Jerman Christian Wulff melanjutkan perjalanannya ke Indonesia. Mengawali kunjungannya di Indonesia Presiden Jerman Christian Wulff memperingatkan untuk keadilan sosial dan perlindungan kelompok minoritas. Dalam wawancara dengan harian Kompas Wulff mengatakan, banyak konflik etnis dan sosial dari pengamatan lebih mendalam, banyak bersumber dari masalah sosial.
Acara Presiden Wulff di Indonesia
Selama kunjungan di Indonesia sampai Jumat (02/12) mendatang, Presiden Jerman Wulff dijadwalkan bertemu dengan Presiden Yudhoyono Kamis (01/12). Malam harinya Wulff akan menghadiri jamuan makan malam di Istana Negara. Demikian dikatakan juru bicara presiden Teuku Faizasyah. Kunjungan Presiden Jerman Christian Wulff diharapkan mempererat hubungan bilatarelal yang tahun 2012 akan memasuki tahun ke-60, kata Faizasyah kepada Jakarta Post.
Selain dijadwalkan bertemu dengan Sekjen ASEAN Pitsuan, Presiden Christian Wulff juga direncanakan menghadiri forum komunitas bisnis Jerman di Indonesia dan memberikan kuliah umum di Universitas Indonesia. Dalam lawatan tiga harinya di Indonesia, Presiden Jerman itu juga akan mengunjungi Mesjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta.
Wulff Puji Bangladesh Sebagai Panutan
Rabu (30/11) Presiden Jerman Christian Wulff mengakhiri lawatannya di Bangladesh. Jerman adalah negara pertama yang mengakui Bangladesh setelah proklamasinya, (16 Desember 1971 menyatakan kemerdekaannya dari Pakistan). Sejak puluhan tahun berlangsung hubungan kebudayaan dan makin meningkat pula hubungan di bidang ekonomi. Tapi selama 25 tahun warga Bangladesh harus menunggu sampai seorang kepala negara Jerman kembali berkunjung dan mendukung negara kecil yang sedang berkembang itu. Karena tantangan yang dihadapi Bangladesh sangat besar.
Hari Selasa (29/11) Presiden Jerman Christian Wulff mengunjungi Universitas Dhaka. Ratusan mahasiswa memenuhi ruang kuliah mengikuti pidato Wulff. Presiden Jerman itu memuji kebijakan Bangladesh yang memilih negara demokrasi sekuler. Walaupun terpisah jarak, tapi dekat secara mental. Demikian hubungan Jerman dengan Bangladesh kata Wulff di depan mahasiswa. Bagaimana menyikapi secara tenang berbagai agama yang berbeda. Bagaimana menciptakan empati untuk toleransi dan demokrasi?
Hal itu tidak selalu berhasil dilakukan Jerman, kata Christian Wulff tidak hanya di Universitas Dhaka. Presiden Jerman itu menjelaskan kepada mahasiswa dan mitra bicaranya betapa besar rasa terkejutnya mengetahui ada warga asing di Jerman dibunuh oleh pelaku kejahatan ekstrim kanan. Negara memiliki tanggung jawab melindungi seluruh warga. Tapi sebagai pengakuan terhadap kelompok minoritas juga termasuk tindakan negara juga harus melindungi mereka secara menyeluruh dari kekerasan dan serangan-serangan itu.”
Bangladesh: Contoh untuk Kawasan Arab?
Bangladesh dapat menjadi panutan untuk negara-negara seperti Mesir dan Tunisia, demikian dikatakan Presiden Jerman Christian Wulff kepada Deutsche Welle. Yang terutama patut dicontoh adalah sikap toleransi antar agama dan antar warga di Bangladesh. Dalam delegasi lawatan Presiden Wulff juga terdapat Profesor Rauf Ceylan dari Pusat Kajian Interkultural Islam Universitas Osnabrück. Dua pakar Islam menjadi penasihat lawatan Presiden Jerman kali ini dan mengumpulkan pengalaman dari lawatan tersebut. Rauf Ceylan menyimpulkan, tidak cukup hanya satu agama dalam hal ini agama Islam yang memberikan kebebasan menjalankan kepercayaan bagi agama-agama lainnya. Negara juga harus menjamin kebebasan seluruh agama.
Kebebasan beragama bukan sekedar sikap ramah. Dalam pembicaraan dengan Perdana Menteri Bangladesh Syeikh Hasina Wayed, Wulff juga menunjuk pelanggaran hak asasi manusia dan menyerahkan catatan Amnesty International tentang kasus-kasus pelanggaran HAM. PM Bangladesh itu berjanji akan mengkajinya. Tidak ada negara lain yang memiliki begitu banyak organisasi non pemerintah seperti Bangladesh. Dan LSM ini memperhatikan benar-benar situasi Bangladesh dan demokrasinya yang masih muda.
DW/DPA/Jakarta Post/Stehkämper/Kostermans
Editor: Hendra Pasuhuk