1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJepang

Jepang Antisipasi Tindakan Kasar terhadap Staf Sektor Jasa

25 November 2024

Bandara Internasional Narita terapkan kebijakan nol toleransi bagi penumpang yang melakukan pelecehan dan tindakan kasar. Bisnis lain juga melaporkan peningkatan ancaman terhadap karyawan mereka.

https://p.dw.com/p/4nOlS
Penumpang di BAndara Internasional Narita, Jepang
Penumpang di BAndara Internasional Narita, JepangFoto: Kyodo News via AP/picture alliance

Bosan dengan luapan amarah, teriakan ancaman, dan bahkan insiden kekerasan, operator Bandara Internasional Narita menjadi yang pertama di Jepang yang menerapkan kebijakan nol toleransi terhadap pelecehan terhadap para staf.

Selain Bandara Narita, Pemerintah Metropolitan Tokyo juga mengeluarkan peraturan daerah pada tanggal 4 Oktober lalu, yang dirancang melindungi orang-orang yang bekerja di sektor jasa dari pelecehan, ancaman, dan tuntutan yang tidak masuk akal. Peraturan ini diterapkan seiring meningkatnya insiden kasus-kasus semacam ini.

Manajemen Bandara Narita mengatakan bahwa mereka terpaksa bertindak karena meningkatnya konfrontasi antara penumpang dan staf.

Kebijakan baru tersebut mendefinisikan pelecehan sebagai tindakan apa pun yang "membahayakan lingkungan kerja staf bandara secara fisik atau psikologis." Hal ini mencakup penghinaan terhadap karyawan, teriakan, pelecehan verbal, diskriminasi, dan pencemaran nama baik.

Penumpang makin kasar dan mudah tantrum

Seorang petugas penanganan darat di bandara besar lainnya di Jepang belakangan ini sering dibuat terkejut dengan mudahnya penumpang hilang kesabaran.

"Terjadi lagi pada saya minggu lalu," kata perempuan petugas tersebut. Ia menolak disebutkan namanya karena tidak punya izin resmi dari atasannya untuk berbicara ke publik.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

"Koper seorang penumpang melebihi batas berat maksimum dan dia marah karena kami tidak mengizinkannya untuk check-in. Dia berteriak-teriak, memukul meja dengan tinjunya, dan menendang koper," katanya kepada DW.

"Ini berlangsung sekitar 15 menit, tetapi kami tidak mengalah. Jadi, akhirnya ia harus membayar biaya kelebihan bagasi. Biayanya tidak terlalu banyak dan saya tidak mengerti kenapa dia jadi sangat agresif."

Ia mencatat bahwa beberapa staf darat menyerah pada ancaman, yang mungkin mendorong yang lain untuk melakukan hal yang sama.

Pada bulan Juni, serikat pekerja UA Zensen Union yang beranggotakan 1,8 juta orang menerbitkan hasil survei yang menunjukkan bahwa 46,8% pekerja di industri jasa Jepang telah menjadi target pelecehan dalam dua tahun sebelumnya.

Laporan ini menyebutkan, beberapa orang sangat trauma dengan pengalaman itu dan memerlukan konseling.

Suasana di pusat perbelanjaan Ginza, Tokyo, Jepang
Apapun penyebabnya, semakin banyak orang Jepang mudah marah, semakin banyak perusahaan mengambil tindakan pencegahan.Foto: Taidgh Barron/Zuma/picture alliance

"Jepang memiliki standar layanan kesopanan yang sangat tinggi, tetapi dengan itu muncul norma yang diharapkan serupa bagi pengguna jasa," kata Roy Larke, dosen senior pemasaran di Universitas Waikoto, Selandia Baru, dan pakar ritel dan perilaku konsumen di Jepang.

"Ketika harapan ini buyar, bahkan jika hanya terdapat beberapa kasus yang dilaporkan dengan semestinya, itu sangat mengejutkan bagi banyak orang," katanya kepada DW.

Pelanggan juga perlu dididik

Larke mengatakan perusahaan e-commerce saat ini juga berusaha menginformasikan dan mendidik pelanggannya bahwa pengiriman barang aka nmereka terima lebih lambat. Ia juga menambahkan bahwa mungkin ada kebutuhan untuk "menurunkan ekspektasi dari pelanggan saat berbelanja."

Apa pun penyebabnya, kini lebih banyak perusahaan di Jepang yang mengambil tindakan pencegahan.

Dua maskapai penerbangan terbesar di negara itu, All Nippon Airways dan Japan Airlines, pada bulan Juli meluncurkan pedoman baru tentang perilaku penumpang. Keduanya menegaskan bahwa bahasa yang kasar dan agresif sebagai hal yang tidak dapat diterima, demikian pula ancaman, serangan fisik terhadap staf, tuntutan yang tidak masuk akal, dan pelecehan seksual.

Selain mereka, perusahaan pengembang teknologi Softbank Corp mengembangkan teknologi yang menggunakan kecerdasan buatan dan bisa mengubah suara, membuat penelepon yang marah terdengar tenang kepada karyawan perusahaan yang mendengarkan keluhan itu.  

Jaringan supermarket Ito-Yokado Co juga membuat petunjuk manual untuk menangani pelanggan yang sulit dan membuat pelatihan tentang cara melaporkan perilaku kekerasan kepada polisi dan mengarahkan individu yang mengancam ke posisi di mana wajah mereka bisa terekam CCTV.

Kian banyak yang melaporkan pelecehan

Minimarket 24 jam melatih staf tentang cara menanggapi pelanggan yang kasar dan banyak gerai telah memasang tanda peringatan bahwa perilaku buruk tidak akan ditoleransi dan bahwa tempat tersebut dipantau oleh kamera keamanan.

Morinosuke Kawaguchi, seorang analis dan konsultan teknologi yang sebelumnya menjadi dosen di Institut Teknologi Tokyo, mengatakan masyarakat Jepang kini semakin memahami apa yang dimaksud dengan pelecehan dan bersedia melaporkan insiden.

"Jepang adalah negara dan masyarakat yang sangat sopan, tetapi semua kasus yang kita dengar menunjukkan bahwa kita telah menjadi tidak sopan," katanya kepada DW. "Saya pikir sebagian besar masalahnya adalah bahwa semuanya sekarang direkam di ponsel sehingga kita bisa melihat lebih banyak kasus."

"Perilaku seperti ini dulu adalah hal yang dilakukan oleh preman muda di jalanan, tetapi hampir tidak ada yang melihatnya," tambahnya. "Sekarang kita punya media sosial, ini telah menjadi masalah besar. Saya tidak percaya bahwa Jepang, sebagai masyarakat, benar-benar menjadi lebih tidak sopan atau agresif."

Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris

Kontributor DW, Julian Ryall
Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.