Pertarungan kekuasaan di Iran / Presiden Jerman Johannes Rau menolak larangan jilbab / Kunjungan kanselir Jerman ke Afrika.
23 Januari 2004Iklan
Menjelang pemilihan parlemen di Iran bulan depan, terjadi bentrokan antara para pendukung reformasi dan kelompok Islam konservatif. Di kota Hamadan, 200 anggota kelompok konservatif berusaha menggagalkan demonstrasi protes para pendukung reformasi . Meski kaum konservatif sudah mulai mengalah dalam soal penolakan kandidat reformis untuk pemilu di Iran, sekitar 80 anggota parlemen mengancam akan mengembalikan mandatnya, apa bila kelompok mullah konservatif berusaha menghalangi pemilihan yang bebas dan demokratis tanggal 20 Februari mendatang. Harian liberal Austria yang terbit di Wina Der Standaard mengomentari persaingan antara kaum reformis dan fundamentalis di Iran sebagai berikut...
Sebenarnya kaum konservatif malah menolong kelompok reformis untuk menggugah para pengikutnya. Namun tetap merupakan pertarungan yang tidak seimbang. Sebab kompromi apa pun yang diupayakan oleh Dewan Pengawas, apakah kini 260 kandidat direhabilitasi , atau seribu dari 3500 kandidat yang dikucilkan , yang jelas ratusan kandidat tetap ditolak. Banyak warga Iran semakin yakin , Presiden Khatami lebih bertindak sebagai pendukung sistim ketimbang sebagai reformis.
Komentar harian konservatif Austria Die Presse .....
Selama ini rakyat Iran tidak peduli dengan pertarungan baru tsb. Demonstrasi dan unjuk rasa untuk menyatakan solidaritas tidak ada. Negeri itu sedang dilanda sikap apatis. 25 tahun setelah Revolusi Islam generasi penerus - dua pertiga rakyat Iran lebih muda dari 30 tahun - meninggalkannya. Mereka tidak mempedulikan politik mau pun agama. Mereka lebih sibuk mencari kebebasan pribadi. Namun mungkin pemimpin oposisi dapat meyakinkan mereka. Ironis bahwa pemimpin oposisi juga memakai nama Khatami. Ia adalah Reza Khatami, seorang dokter dan saudara presiden .
Topik berikutnya dalam Sari Pers DW: Presiden Jerman Johannes Rau dalam pidato pada upacara peringatan ulang tahun yang ke-275 sastrawan dan dramawan Jerman Gotthold Ephraim Lessing di kota Wolfenbüttel, Kamis lalu, mengimbau toleransi dan perlakuan sama terhadap semua agama. Rau kembali menolak larangan jilbab bagi guru-guru Muslim di Jerman. Harian Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung berkomentar....
Tidak mengherankan, Presiden Johannes Rau dalam pidatonya berkenaan dengan hari ulang tahun sastrawan Jerman Lessing , menegaskan penolakannya terhadap larangan jilbab. Rau memperingatkan terhadap laizisme, yakni negara yang tidak punya ikatan dengan agama. Meski soal jilbab masalah kontroversial di kalangan kaum Muslim sendiri, namun penafsiran makna jilbab hendaknya tidak hanya dilihat dari satu dimensi, mengingat Jerman menganut pandangan dunia yang netra. Namun kurang meyakinkan , Rau menekankan hak aktif kebebasan beragama bagi pemakai jilbab, namun meremehkan makna politik dari jilbab. Karena jelas, hak pasif kebebasan beragama sang murid dilanggar.
Harian Süddeutsche Zeitung yang terbit di München berargumentasi...
Tentu saja jilbab bukan hanya melambangkan satu simbol. Bisa bermacam-macam, juga simbol penindasan. Namun menurut Presiden Rau , kemungkinan penyalah gunaan jilbab, tidak boleh dijadikan alasan untuk melarangnya. Memang benar fundamentalisme perlu dilarang di sekolah-sekolah, namun juga benar tidak setiap wanita Muslim yang memakai jilbab , adalah ekstremis. Untuk menentukan apakah seorang guru ektremis atau tidak, tidak diperlukan UU baru. Adalah fatal, bila integrasi warga Muslim di Jerman dimulai dengan larangan melakukan profesinya, gara-gara memakai jilbab.
Harian Frankfurter Rundschau menulis....
Peringatan Rau sebenarnya ditujukan kepada gereja dan politik, agar jangan menjadikan agama Kristen sebagai agama yang paling utama , dan mendegradasi agama Islam sebagai agama kelas dua. Bukan tugas negara untuk menentukan agama mana yang lebih baik , atau memprioritaskan agama tertentu. Karena peringatannya yang ditujukan kepada banyak pemerintahan negara bagian yang sedang mengupayakan larangan jilbab, Rau akan dikenang sebagai presiden Jerman yang paling banyak dikritik, namun juga sebagai kepala negara yang berani.
Kunjungan kanselir Jerman Gerhard Schröder ke benua Afrika juga dikomentari oleh harian yang banyak dibaca oleh warga berkulit hitam. Berikut kami kutip komentar harian Afrika Selatan Sowetan ......
Afrika telah terbiasa mendengarkan kata-kata basa basi dari para pemimpin negara industri yang berkunjung ke negaranya. Bagi Jerman tidak cukup hanya memperbarui dukungannya bagi Program Pembaruan Afrika NEPAD dann upaya Afrika untuk menyelesaikan konflik. Sudah banyak pemimpin negara G-8 lainnya mengatakan hal yang sama. Hendaknya Schröder dengan tegas memihak Afrika , di UE yang anggotanya justru menghalangi persaingan jujur di pasar produk pertanian dunia.
Sebenarnya kaum konservatif malah menolong kelompok reformis untuk menggugah para pengikutnya. Namun tetap merupakan pertarungan yang tidak seimbang. Sebab kompromi apa pun yang diupayakan oleh Dewan Pengawas, apakah kini 260 kandidat direhabilitasi , atau seribu dari 3500 kandidat yang dikucilkan , yang jelas ratusan kandidat tetap ditolak. Banyak warga Iran semakin yakin , Presiden Khatami lebih bertindak sebagai pendukung sistim ketimbang sebagai reformis.
Komentar harian konservatif Austria Die Presse .....
Selama ini rakyat Iran tidak peduli dengan pertarungan baru tsb. Demonstrasi dan unjuk rasa untuk menyatakan solidaritas tidak ada. Negeri itu sedang dilanda sikap apatis. 25 tahun setelah Revolusi Islam generasi penerus - dua pertiga rakyat Iran lebih muda dari 30 tahun - meninggalkannya. Mereka tidak mempedulikan politik mau pun agama. Mereka lebih sibuk mencari kebebasan pribadi. Namun mungkin pemimpin oposisi dapat meyakinkan mereka. Ironis bahwa pemimpin oposisi juga memakai nama Khatami. Ia adalah Reza Khatami, seorang dokter dan saudara presiden .
Topik berikutnya dalam Sari Pers DW: Presiden Jerman Johannes Rau dalam pidato pada upacara peringatan ulang tahun yang ke-275 sastrawan dan dramawan Jerman Gotthold Ephraim Lessing di kota Wolfenbüttel, Kamis lalu, mengimbau toleransi dan perlakuan sama terhadap semua agama. Rau kembali menolak larangan jilbab bagi guru-guru Muslim di Jerman. Harian Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung berkomentar....
Tidak mengherankan, Presiden Johannes Rau dalam pidatonya berkenaan dengan hari ulang tahun sastrawan Jerman Lessing , menegaskan penolakannya terhadap larangan jilbab. Rau memperingatkan terhadap laizisme, yakni negara yang tidak punya ikatan dengan agama. Meski soal jilbab masalah kontroversial di kalangan kaum Muslim sendiri, namun penafsiran makna jilbab hendaknya tidak hanya dilihat dari satu dimensi, mengingat Jerman menganut pandangan dunia yang netra. Namun kurang meyakinkan , Rau menekankan hak aktif kebebasan beragama bagi pemakai jilbab, namun meremehkan makna politik dari jilbab. Karena jelas, hak pasif kebebasan beragama sang murid dilanggar.
Harian Süddeutsche Zeitung yang terbit di München berargumentasi...
Tentu saja jilbab bukan hanya melambangkan satu simbol. Bisa bermacam-macam, juga simbol penindasan. Namun menurut Presiden Rau , kemungkinan penyalah gunaan jilbab, tidak boleh dijadikan alasan untuk melarangnya. Memang benar fundamentalisme perlu dilarang di sekolah-sekolah, namun juga benar tidak setiap wanita Muslim yang memakai jilbab , adalah ekstremis. Untuk menentukan apakah seorang guru ektremis atau tidak, tidak diperlukan UU baru. Adalah fatal, bila integrasi warga Muslim di Jerman dimulai dengan larangan melakukan profesinya, gara-gara memakai jilbab.
Harian Frankfurter Rundschau menulis....
Peringatan Rau sebenarnya ditujukan kepada gereja dan politik, agar jangan menjadikan agama Kristen sebagai agama yang paling utama , dan mendegradasi agama Islam sebagai agama kelas dua. Bukan tugas negara untuk menentukan agama mana yang lebih baik , atau memprioritaskan agama tertentu. Karena peringatannya yang ditujukan kepada banyak pemerintahan negara bagian yang sedang mengupayakan larangan jilbab, Rau akan dikenang sebagai presiden Jerman yang paling banyak dikritik, namun juga sebagai kepala negara yang berani.
Kunjungan kanselir Jerman Gerhard Schröder ke benua Afrika juga dikomentari oleh harian yang banyak dibaca oleh warga berkulit hitam. Berikut kami kutip komentar harian Afrika Selatan Sowetan ......
Afrika telah terbiasa mendengarkan kata-kata basa basi dari para pemimpin negara industri yang berkunjung ke negaranya. Bagi Jerman tidak cukup hanya memperbarui dukungannya bagi Program Pembaruan Afrika NEPAD dann upaya Afrika untuk menyelesaikan konflik. Sudah banyak pemimpin negara G-8 lainnya mengatakan hal yang sama. Hendaknya Schröder dengan tegas memihak Afrika , di UE yang anggotanya justru menghalangi persaingan jujur di pasar produk pertanian dunia.
Iklan