1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kebimbangan Pemilih Muda Bayangi Pilkada 2024

Tezar Aditya Rahman
26 November 2024

Pilkada 2024 tinggal menghitung hari, banyak anak muda merasa lelah dan belum memutuskan pilihan mereka. Kenapa Pilkada justru penting dan dekat bagi kehidupan sehari-hari?

https://p.dw.com/p/4nPpY
Seseorang memasukkan surat suara ke kotak, saat Pemilu 2024
Ilustrasi pemungutan suaraFoto: Arti Ekawati/DW

Roni tidak bisa menjawab kapan tepatnya Pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 akan digelar. "September, ya?" jawabnya ketika ditanya.

Pemuda asal Bogor, Jawa Barat, ini tahu pentingnya berpartisipasi dalam pemilihan umum, tetapi ia masih sibuk mencari kerja setelah lulus dari sekolah menengah kejuruan (SMK). Karena itu, ia mengaku belum sempat mencari tahu siapa yang akan dipilih dan apa program kandidat kepala daerah di tempatnya tinggal.

Sementara Sofi, mahasiswa penerima program beasiswa dari Pemerintah Provinsi Jakarta, pilkada bukan sekadar memilih pemimpin daerah. Sebagai penerima beasiswa pemerintah daerah, ia sempat was-was ketika sebelumnya ada wacana penghapusan program beasiswa. Ini pula yang menjadi alasan hingga beberapa hari jelang pemilihan gubernur, Sofi masih belum menentukan pilihan. 

"Kalau regulasi (tentang beasiswa) berubah, tentu cukup berpangaruh bagi hidup saya," kata Sofi. 

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Pilkada 2024 disebut sebagai pemilu serentak terbesar dalam sejarah Indonesia. Namun, pilkada yang digelar di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota ini tampak tidak disambut seantusias pilpres yang digelar beberapa bulan sebelumnya.

Menurut survei Litbang Kompas (Oktober 2024), masih ada 23,8% pemilih bimbang di Jakarta. Lembaga yang sama juga melaporkan angka pemilih bimbang (undecided voters) yang lebih tinggi ditemukan di Jawa Tengah, mencapai 43,1%.

Ancaman rendahnya partisipasi di Pilkada 2024 

Menurut Peneliti Perludem, Haykal, salah satu faktor kurangnya antusiasme warga dalam pilkada 2024 disebabkan adanya kejenuhan pemilih (voter fatigue). Fenomena ini menggambarkan kondisi masyarakat yang merasa lelah dengan proses pemilu yang terus-menerus, saat masyarakat harus terus mengambil keputusan dalam beberapa pemilihan umum. 

"Ada kecenderungan teman-teman muda sudah lelah dengan pembahasan politik di pemilu kemarin, tapi sudah dihadapkan dengan pilkada. Sehingga timbul keengganan, atau bahkan menunda untuk mencari informasi terkait pilkada," kata Haykal kepada DW Indonesia. 

Ketimpangan perhatian antara satu daerah dengan daerah lain, menurut Haykal, juga menyebabkan lesunya geliat Pilkada Serentak 2024. Sehingga banyak pemilih sulit mendapat informasi program yang ditawarkan kandidat kepala daerah. Kondisi ini bukan tidak mungkin berkontribusi menyurutkan angka partisipasi pemilih. 

Sementara itu, menurut Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, pengusungan kepada daerah oleh partai politik yang tidak merepresentasikan keinginan publik juga dapat menjadi alasan tidak antusiasnya warga dalam menjelang pilkada. Masyarakat disuguhkan calon-calon kepala daerah yang terkesan asing dan hanya menjadi kepanjangan tangan dari elite pusat.

Anak muda masih dipandang sebatas komoditas elektoral

KPU menyatakan dalam Pemilu 2024, Generasi Milenial danGen-Z mendominasi Daftar Pemilih Tetap (DPT), mencakup 55% dari jumlah DPT nasional. Angka pemilih muda diprediksi bertambah di Pilkada 2024, seiring dengan jumlah pemilih pemula yang baru mencapai usia 17 tahun.

Dengan angka itu anak muda kerap disebut sebagai berperan penting sebagai penentu suara dalam pemiliu. Sayangnya, dominasi anak muda tidak diiringi keterlibatan peran anak muda dalam proses politik.

Menurut Haykal, anak muda masih dipandang hanya sebatas komoditas suara. Agenda-agenda anak muda belum menyentuh aspek yang subtansial, masih sebatas kemasan atau gimmick belaka. Seharusnya anak muda dapat lebih berperan aktif dalam proses politik dan tidak terjebak dalam kepentingan pragmatis.

Mengapa Pilkada 2024 sangat penting?

Pilkada seharusnya disambut dengan antusias oleh warga karena akan berdampak lebih dekat dengan masyarakat. Menurut Haykal, kebijakan di daerah akan langsung bersentuhan dengan warga. Ia mencontohkan bagaimana formulasi Upah Mininum Provinsi (UMR) dan Upah Mininum Kota (UMK) yang diputuskan oleh daerah.

Hal senada diungkapkan oleh Trubus Rahardiansyah, yang memandang kebijakan daerah akan bersentuhan langsung dengan warga. "Dalam konteks otonomi daerah, sesungguhnya kebijakan di daerah langsung (diputuskan) kepala daerah, misalnya soal ketersediaan pangan, atau peraturan daerah (perda) yang memungkinkan anak muda mendapat lapangan pekerjaan yang layak," ujar Trubus.

Memberikan suara dalam pilkada kerap dianggap hanya bagian dari berdemokrasi. Tapi, bagi anak muda, seperti Roni dan Sofi, ini lebih dari sekadar memilih. Pilkada bukan hanya menentukan arah kebijakan daerah, tapi juga bisa memengaruhi kehidupan mereka, setidaknya untuk lima tahun ke depan.

Editor: Arti Ekawati