Jebakan Kemiskinan Ancam Negara Pengekspor Komoditas
7 Juli 2021Konferensi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) dalam laporan yang dipublikasikan Rabu (07/07) mewanti-wanti negara berkembang, agar tidak terlalu bergantung pada ekspor komoditas, jika tidak ingin "terjebak dalam situasi yang tidak diinginkan.”
Menurut UNCTAD, perekonomian "berbasis komoditas” biasanya meraih 60 persen pendapatan ekspor dari penjualan komoditas kopi, minyak dan gas atau mineral logam. Namun di negara berkembang, sektor-sektor ini ditandai oleh "produktivitas buruh, tingkat teknologi dan pertumbuhan yang rendah.”
Pada 2019, dua pertiga negara berkembang tercatat menggantungkan kemakmuran dari industri ekstraksi atau pertanian. Jumlah kontribusi sektor ini pada kemakmuran di negara-negara industri maju, hanya sebesar 13 persen.
UNCTAD memprediksi "hanya tujuh persen” kemungkinan negara berkembang meniru Malaysia atau Costa Rica yang dianggap berhasil mematahkan "kutukan sumber daya alam”, dan mengembangkan sektor manufaktur serta industri padat karya lain.
Negara "yang lebih bergantung pada ekspor produk pertanian biasanya memiliki level teknologi yang rendah, disusul dengan negara yang mengandalkan ekspor hasil pertambangan, lalu negara yang bergantung pada ekspor minyak dan gas,” tulis UNCTAD.
Sebab itu, meningkatkan produktivitas dan penguasaan teknologi adalah sebuah keharusan, jika perekonomian berbasis komoditas ingin "membebaskan diri dari jebakan yang membuat warga mereka tetap hidup di bawah garis kemiskinan,” menurut lembaga PBB itu.
Perekonomian pascapandemi tetap sulit
Dana Moneter Internasional (IMF) baru-baru ini mengatakan negara berkembang berpotensi kesulitan memulihkan roda perekonomian pascapandemi, bahkan ketika perekonomian global rata-rata tumbuh 5 hingga 6 persen tahun ini.
Hal ini bisa disimak pada sektor pariwisata yang diprediksi akan sulit pulih di sepanjang tahun ini. Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO), Senin (05/07) menyatakan hampir 30% perbatasan di seluruh dunia "ditutup sepenuhnya” hingga bulan Juni lalu. Kebanyakan negara itu berada di kawasan Asia Pasifik.
Adapun Program Pangan PBB (WFP) bulan lalu melaporkan kenaikan harga pangan kian menghimpit penduduk di negara-negara miskin. Hal serupa bisa diamati pada krisis ekonomi 2008, ketika lonjakan harga pangan memicu demonstrasi di banyak negara berkembang.
Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperingatkan gelombang protes berpotensi kembali melanda negara berkembang, terutama setelah pembatasan terkait pandemi sudah dilonggarkan.
"Angka demonstrasi akan berlipat ganda di seluruh dunia dalam satu dekade pasca krisis ekonomi 2008-09,” tulis organisasi yang bermarkas di Paris, Prancis. "Bertahan hidup akan menjadi kekhawatiran banyak orang,” pascapandemi nanti.
rzn/as (dpa,afp)