290509 UN Friedenstruppen
29 Mei 2009Meskipun biaya seluruh misi Perserikatan Bangsa Bangsa setiap tahunnya berkisar pada 7 milyar Dolar, yakni sekitar 0,5% pengeluaran untuk militer secara global, suara sumbang yang mengritik besarnya jumlah biaya itu banyak terdengar. Para pengritik menyebutnya terlalu mahal dan tidak efektif. Apalagi di kawasan konflik Afrika khususnya, PBB gagal dan memang tidak bisa memenuhi target yang diharapkan.
Seperti banyak pengamat lain, Dr. Monica Juma mengeluhkan kelemahan misi perdamaian PBB, UNAMID di kawasan krisis Darfur yang terletak di Sudan Barat. "UNAMID memiliki mandat yang kuat, tetapi tidak memiliki sarana untuk melaksanakan mandatnya secara efektif, yakni melindungi warga sipil dan menjaga keamanan di Darfur."
Di pihak lain, PBB mengusung misi UNAMID sebagai strategi baru yang sukses dalam menjaga perdamaian. Berbasis kerjasama antara negara-negara mitra, dalam hal ini Uni Afrika, UNAMID merupakan "Sebuah solusi Afrika untuk masalah di Afrika". Bagi Monica Juma, yang mengevaluasi misi PBB itu, pandangan itu sulit diterima.
"PBB tidak mendapatkan dukungan pasukan yang diharapkan. Sementara pemerintah Sudan bersikap memblokir. Karena UNAMID merupakan pasukan gabungan, maka keputusan harus diambil secara kolektif. Artinya, Sudan bisa memboikot tawaran pasukan dari negara-negara tertentu,“ demikian Monica Juma.
Saat ini ada 113 000 tentara, polisi, konsultan dan warga sipil yang bertugas dalam 16 misi perdamaian PBB di empat benua. Dibandingkan dengan tahun 1999, jumlah tenaga yang dikerahkan ini meningkat tujuh kali lipat. Namun ungkapan bahwa kwantitas tidak sama dengan kwalitas juga berlaku di sini.
Resolusi PBB no 1769 pada tahun 2007 menetapkan bahwa misi UNAMID melibatkan 31.042 orang tentara, polisi dan penasehat. Namun hingga kini tak terkumpul separuh dari jumlah itu. Kelemahan personalia dan logistik inilah yang dinilai menyebabkan penolakan rakyat Darfür terhadap kehadiran pasukan helm biru.
Kenyataannya misi UNAMID yang setiap tahunnya dianggarkan dana 1,6 juta Dolar menghadapi kesulitan logistik untuk mengamankan kawasan Darfur, yang hampir seluas pulau Kalimantan. Pasukan tidak dapat dipindahkan dengan cepat ke lokasi lain karena kurangnya transportasi. PBB sudah satu setengah tahun berusaha mendapatkan helikopter khusus untuk wilayah gurun, tapi gagal. Padahal sebenarnya Italia, Spanyol, India, Rumania, Ceko dan Ukraina saja bisa memobilisasi 70 helikopter jenis tersebut.
Data satelit yang memonitor pergerakan pasukan sama sulitnya untuk didapatkan, seperti bahan bakar bagi pesawat terbang yang harus berpatroli. Selain itu, karena pembayaran gaji tertunda berminggu-minggu, dan kini sudah 34 anggota misi UNAMID yang tewas, moral pasukan pun kian melemah.
Selain misi UNAMID di Darfur, misi PBB di Republik Demokratik Kongo, MONUC, juga menuai kritik. Pasukan helm biru dituding hanya menonton ketika terjadi pembunuhan massal. Citra pasukan juga rusak akibat tindakan pelecehan seksual yang dilakukan sejumlah anggotanya.
Ulrich Delius, pakar Afrika di Jerman dari Lembaga Perlindungan Masyarakat yang Terancam dan sejak beberapa tahun memantau misi-misi perdamaian di Afrika, menuturkan, "Masalah MONUC adalah bahwa masyarakat Kongo tidak tahu bagaimana harus menempatkan pasukan itu. MONUC kadang membela pihak pemerintah melawan pemberontak. Di pihak lain, apabila terjadi pelanggaran hak azasi manusia, kadang MONUC menentang militer Kongo. Tidak aneh, apabila masyarakat setempat kerap mengeluhkan tidak tahu apa yang sebenarnya dilakukan oleh MONUC."
Ia menambahkan, bahwa selain masalah struktural yang terkait dengan kawasan konflik, sejumlah negara termasuk India, Pakistan, Nepal dan Bangladesh melihat penempatan pasukannya dalam misi PBB sebagai sumber mata pencaharian bagi militernya. Namun ia mengakui, di mana semua pihak terlibat memiliki kepentingan untuk menemukan solusi bagi konflik, maka misi-misi PBB di sana jauh lebih berhasil.
Misi UNAMSIL di Sierra Leone yang biayanya mendekati 3 milyar Dolar AS itu termasuk salah satu yang paling berhasil. Perdagangan intan yang menelan banyak korban berhasil dihentikan dan 75 000 anggota milisi berhasil dilucuti senjatanya. Selain itu, diselenggarakan Mahkamah Khusus dan digelar sebuah konferensi kebenaran dan rekonsiliasi.
Menurut Ulrich Delius, keberhasilan sebuah misi sangat tergantung pada niat baik pihak-pihak yang terlibat konflik, serta dukungan yang diberikan oleh masyarakat internasional. Ia mencontohkan Misi UNMISET di Timor Leste, yang mencapai hasil jangka waktu menengah yang positif, namun setelah itu menunjukan kelemahan misi-misi PBB. Disebutkannya, misi PBB memiliki keterbatasan. Misi-misi pasukan helm biru bisa membantu menjaga keamanan. Juga bisa membekukan situasi konflik. Tetapi tidak bisa diharapkan menyelesaikan konflik yang berlangsung di sebuah lokasi.
Ludger Schadomsky / Edith Koesoemawiria
Editor : Ayu Purwaningsih