Negara-negara Barat Mengutuk Proses Pemilu Suriah Tidak Sah
26 Mei 2021Amerika Serikat (AS), Inggris, Prancis, Jerman dan Italia pada Selasa (25/05) merilis pernyataan yang menyebut pemilu Suriah yang digelar pada Rabu (26/05) "tidak bebas dan tidak adil.”
Kelima negara Barat tersebut mengklaim bahwa pemilu kali ini sebagai sebuah kecurangan yang diatur oleh Presiden Bashar Assad, yang hampir pasti akan memenangkan pemilu.
"Kami mengecam keputusan rezim Assad yang menggelar pemilu di luar kerangka kerja yang dijelaskan oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB 2254, dan kami mendukung suara seluruh warga Suriah, termasuk organisasi masyarakat sipil dan oposisi Suriah, yang telah mengutuk proses pemilu sebagai pemilu yang tidak sah,” kata para menteri luar negeri kelima negara melalui pernyataan bersama.
Mereka juga mengatakan bahwa pemilu harus berada di bawah pengawasan PBB "dengan standar transparansi dan akuntabilitas internasional tertinggi.”
Selain itu, pernyataan tersebut juga mengatakan bahwa semua warga Suriah harus dapat berpartisipasi dalam proses pemungutan suara, termasuk pengungsi Suriah yang tinggal di luar negeri. Saat ini, warga Suriah yang tinggal di luar negeri baru bisa memilih apabila mereka memiliki paspor Suriah yang sah dan cap resmi saat keluar dari perbatasan, aturan yang mengecualikan banyak warga yang sejatinya melarikan diri dari negara itu.
"Tanpa elemen-elemen ini, pemilu yang curang ini tidak mewakili apa pun menuju penyelesaian politik,” tambah pernyataan itu. "Kami mendesak komunitas internasional agar secara tegas menolak upaya rezim Assad yang ingin mendapatkan kembali legitimasi tanpa mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia, dan secara serius berpatisipasi dalam proses politik yang difasilitasi PBB untuk mengakhiri konflik.”
Siapa saja yang bertarung dalam pemilu?
Selain Assad, kepala Organiasi Arab untuk Hak Asasi Manusia Mahmoud Ahmed Merei dan mantan menteri untuk Urusan Majelis Rakyat Abdullah Sallum Abdullah juga mencalonkan diri sebagai presiden.
Untuk mencalonkan diri sebagai presiden, kandidat harus berusia minimal 40 tahun dan memiliki kewarganegaraan Suriah sejak lahir. Kandidat tidak diperbolehkan memiliki kewarganegaraan ganda atau menikah dengan warga negara asing.
Para kandidat juga harus tercatat sudah tinggal di Suriah setidaknya selama 10 tahun sebelum pemilihan, dan dilarang mencalonkan diri jika mereka terbukti melakukan kejahatan.
Mahkamah Konstitusi Tertinggi Suriah telah menolak banyak kandidat karena tidak memenuhi persyaratan hukum dan konstitusi, hanya mengizinkan tiga dari sekitar 50 calon.
Assad dipastikan menang
Hasil pemilu Suriah kali ini tidak akan mengejutkan. Presiden Bashar Assad akan terpilih kembali untuk keempat kalinya.
Sejak Senin, ribuan orang di berbagai kota dilaporkan turun ke jalan untuk mendukung pria yang keluarganya telah memerintah Suriah selama lima dekade terakhir itu.
Pada pemilu tahun 2014 lalu, Assad mengamankan hampir 89% suara, dengan jumlah pemilih lebih dari 73%. Saat itu, dia melawan dua kandidat. Pengamat internasional pun menolak hasil pemilu itu karena dinilai sebagai sebuah kecurangan. Pemilu kali ini juga dinilai bakal diatur serupa.
Bagaimana situasi politik di Suriah saat ini?
Suriah telah dilanda perang saudara berdarah sejak 2011, ketika pemberontak anti-Assad mengangkat senjata melawan pemerintah di tengah protes pro-demokrasi selama ‘Musim Semi Arab'.
Pihak oposisi, termasuk beberapa kelompok jihadis lantas mengambil alih beberapa negara bagian, menantang otoritas pemerintah di kota-kota seperti Homs dan Aleppo.
Angkatan Bersenjata Suriah telah berhasil mendapatkan kembali kendali atas ebagaian besar negara selama satu dekade terakhir, memukul mundur para pemberontak. Namun, pasukan opoisisi masih menguasai satu kota besar, Idlib, yang terletak di utara Suriah.
Ratusan ribu warga Suriah telah tewas sejak pemberontakan tahun 2011, dengan jutaan orang telah meninggalkan negara itu.
Assad, mengambil alih kursi kepresidenan pada tahun 2000 dari ayahnya, Hafez Assad. Ia telah mengambil sikap keras terhadap oposisi sejak ‘Musim Semi Arab', mencirikan mereka sebagai "teroris”.
gtp/pkp (Reuters, AFP, dpa)