1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Salam Pembuka Semua Agama Bukan Wujud Toleransi?

11 November 2019

Imbauan MUI Jatim agar pejabat tidak menggunakan salam pembuka semua agama marak diperbincangkan. MUI Jatim menilai salam ini bukan wujud toleransi, sementara PBNU menilai hal ini sebagai budaya memperkuat persaudaraan.

https://p.dw.com/p/3SoQ6
Indonesien MUI Gebäude
Foto: picture-alliance/Pacific Press/K.W. Rumpoko

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur membuat surat imbauan agar para pejabat tak menggunakan salam pembuka semua agama. Merespons hal itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai salam pembuka semua agama kerap diucap para pejabat karena sudah menjadi budaya memperkuat persaudaraan.

"Tentang salam yang sering disampaikan oleh para pemimpin atau tokoh masyarakat seperti 'Assalamualaikum, shalom, om swastiastu, namo budaya' dan lain sebagainya dalam pandangan saya sudah menjadi budaya untuk memperkuat ukhuwah wathoniyyah atau persaudaraan kebangsaan," kata Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini, Minggu (10/11/2019) malam.

Dia menilai para pejabat yang mengucapkan salam semua agama itu tidak bermaksud melecehkan ajaran agama tertentu. Helmy juga mengatakan para pejabat pasti memperhatikan tempat dirinya berbicara. 

"Tentu salam yang dimaksud para pemimpin itu adalah dalam suatu pertemuan yang diyakini terdapat audien dari berbagai masyarakat dengan latar belakang agama yang berbeda. Adapun salam yang dikhususkan untuk forum-forum agama dengan audien yang khusus tentu yang dipakai adalah salam sesuai dengan agama masing-masing," ucapnya.

Helmy mengatakan memang ada sebagian kalangan yang menilai pengucapan salam agama lain oleh seorang muslim melanggar syariat. Namun, dia berharap perbedaan pendapat itu tidak saling diperdebatkan.

"Adapun bagi kalangan yang menganggap hal itu sebagai persoalan yang melanggar syariat dalam beragama, saya berharap kita hargai pendapat itu untuk kemudian tidak saling diperdebatkan, yang justru akan menimbulkan ketegangan," ujar Helmy.

Dia kemudian mencontohkan tentang ucapan Alhamdulillah untuk mengucap syukur dan Bismillah untuk memulai sesuatu yang biasa digunakan umat muslim. Menurutnya, ucapan tersebut juga kerap digunakan umat agama lain di Indonesia. 

"Saya justru bersyukur karena bangsa kita adalah bangsa yang toleran. Misalnya banyak istilah-istilah dalam Islam seperti Alhamdulillah untuk mengucap syukur, Bismillah untuk memulai sesuatu dan lain sebagainya dalam praktiknya banyak juga digunakan oleh saudara-saudara kita yang non-muslim. Saya melihat peristiwa itu sebagai proses akulturasi budaya," ujarnya.

Helmy menilai ucapan-ucapan seperti salam dari agama lain tak masalah diucapkan asal tidak bertentangan dengan niat dan tidak menganggu akidah. Menurutnya, hal tersebt merupakan prinsip utama dalam beragama. 

"Sepanjang seluruh yang diucapkan tidak bertentangan dengan niat, maka sepanjang itu pula kalimat yang menyatakan salam kebangsaan tersebut tidak akan mengganggu akidah dan teologi seseorang. Hal itu sudah menjadi prinsip utama dalam beragama," tuturnya.

Baca jugaUlama Aceh Dicambuk Karena Hubungan Intim di Luar Nikah

Lantas apa kata Menteri Agama?

Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi pun angkat bicara soal imbauan itu.

"Kalau di situ bukan hanya orang agama Islam, pasti... Kecuali acara Islam, Islam saja. Tapi kalau acara umum, nasional, harus nasional," kata Fachrul di Royal Kuningan Hotel Jakarta, Minggu (10/11/2019).

Dia mengatakan belum mengetahui lebih detail soal imbauan itu. Fachrul pun tak mau berkomentar apakah dirinya sepakat dengan imbauan tersebut atau tidak.

"Kita aja belum tahu, belum pernah dengar kok dibilang sepakat atau nggak," ucapnya.

MUI Jatim sebelumnya mengimbau para pejabat tak memakai salam pembuka semua agama saat sambutan resmi. Imbauan ini terlampir dalam surat bernomor 110/MUI/JTM/2019 yang diteken Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori.

Dalam surat tersebut terdapat poin yang menyerukan kepada para pejabat untuk menggunakan salam sesuai ajaran agama masing-masing. Jika pejabat itu Islam, diimbau cukup menggunakan kalimat 'Assalaamu'alaikum Wr. Wb'.

Saat dikonfirmasi, Kiai Somad - sapaan akrabnya - membenarkan surat imbauan ini. Hal ini merupakan salah satu hasil dari Rakernas MUI di Nusa Tenggara Barat beberapa waktu lalu.

"Jadi begini, kami menandatangani atau membuat seruan itu karena doa itu adalah ibadah, misalnya saya terangkan salam, 'Assalamualaikum' itu doa, salam itu termasuk doa dan doa itu ibadah," kata Kiai Somad kepada detikcom di Surabaya, Minggu (10/11).

Salam dinilai bukan wujud toleransi

Ketua MUI Jatim KH. Abdusshomad Buchori mengatakan pluralisme memang dianjurkan. Namun, pluralisme agama merupakan hal yang keliru. Menurut Kiai Somad, beribadah dalam suatu agama tidak boleh dicampuradukkan. Karena setiap agama memiliki sistem ibadah sendiri-sendiri.

"Kalau menggunakan salam campuran, itu mencampuradukkan agama, jadi pluralisme agama itu tidak boleh. Saya terangkan di dalam tausyiah agama, itu tidak boleh. Karena agama itu eksklusif, karena keyakinan itu adalah sistem, agama itu sistem keyakinan dan agama punya sistem ibadah sendiri-sendiri," papar Kiai Somad kepada detikcom di Surabaya, Minggu (10/11/2019).

"Kaitannya dengan toleransi, kita setuju dalam perbedaan, saling menghormati, menghargai. Bukan berarti kalau orang salam nyebut semua, itu wujud kerukunan. Itu perusak kepada ajaran agama tertentu," imbuhnya.

Imbauan ini, lanjut Kiai Somad justru merupakan wujud toleransi dan kerukunan antaragama.

"Saya sarankan pejabat yang Muslim menggunakan salam secara Islam. Begitu juga agama lain. Itu justru kerukunan. Tidak mencampurkan kehendak agama tertentu untuk dicampuradukkan. Ibadah ndak bisa dicampur aduk, jangan salah kaprah mengadakan doa bersama, semua doa diamini oleh semua agama, itu rusak nanti keyakinan agama," lanjutnya.

Selain itu, Kiai Somad juga mencontohkan wujud pluralisme dan kerukunan bisa dilakukan dengan hal lain. Bukan menggunakan salam dengan berbagai agama.

"Orang harus berpikir yang jernih jangan sampai sok berbicara kerukunan, sok bicara toleransi, nanti ndak karu-karuan agama ini. Kerukunan itu misalnya kalau ada kebanjiran atau gempa, kita harus tolong menolong, ndak usah tanya agama. Kalau ada kecelakaan kita tolong, ndak usah tanya agama. Jadi kami ini perlu meluruskan yang begini ini," pungkas Kiai Somad. (gtp/rap)

 

Baca artikel selengkapnya di: DetikNews

MUI Jatim Imbau Pejabat Tak Pakai Salam Semua Agama, PBNU Bicara Budaya

MUI Jatim Imbau Pejabat Tak Pakai Salam Semua Agama, Menag Angkat Bicara

MUI Jatim Sebut Salam Pembuka Semua Agama Bukan Wujud Toleransi