1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanIndonesia

MK Diminta Tolak Judicial Review soal Ganja untuk Kesehatan

21 Januari 2022

Dalam sidang Mahkamah Konstitusi, ahli pemerintah Aris Catur Bintoro meminta agar hakim menolak judicial review terkait penggunaan ganja untuk kesehatan. Menurutnya, pengobatan ganja untuk epilepsi belum dibutuhkan.

https://p.dw.com/p/45ruW
Tanaman ganja
Ahli pemerintah menilai untuk mengetahui efektivitas suatu obat ialah dengan melakukan penelitian yang sesuai kaedah ilmiah Foto: Olena Mykhaylova/Zoonar/picture alliance

Ahli pemerintah Aris Catur Bintoro di sidang Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan organisasi epilepsi dunia (ILEA/International League Against Epilepsy) belum sepakat ganja bisa dipakai untuk terapi kesehatan. Oleh sebab itu, Aris meminta MK menolak judicial review pemohon agar ganja untuk kesehatan dilegalkan.

"Kami di ILAE, Organisasi Epilepsi Dunia, beberapa waktu yang lalu, tahun 2018, di Bali diselenggarakan simposium tentang pro dan kontra. Ini menunjukkan bahwa masih belum ada kesepakatan dari banyak ahli-ahli tentang obat kanabis sebagai obat antiepilepsi," kata Aris dalam risalah sidang yang dilansir website MK, Jumat (21/01).

Aris sehari-hari adalah Spesialis Saraf dan Ketua Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Aris saat ini bekerja di KSM Neurologi RSUP Kariadi Semarang.

"Selain itu, kami juga mencoba merilis beberapa guideline atau protokol yang ada di beberapa negara, ternyata hanya ada beberapa negara yang telah menyediakan aturan-aturan penggunaan kanabis ini, namun sebagian besar kami belum mendapatkan. ILAE sebagai organisasi resmi belum mencantumkan tentang aturan ini," ujar Aris.

Dengan tegas Aris menyatakan ganja untuk pengobatan, khususnya epilepsi belum dibutuhkan.

"Penggunaan kanabis sebagai salah satu obat antiepilepsi di Indonesia saat ini tidak diperlukan mengingat dukungan penelitian masih kurang, guideline tatalaksana pengobatan epilepsi yang menyatakan kanabis tidak banyak. Adanya efek samping dalam penggunaan jangka panjang serta pilihan terapi yang lain, seperti pengobatan, pembedahan, dan diet ketogenik masih bisa dimanfaatkan," tegas Aris.

Arie menyatakan epilepsi merupakan penyakit dengan kelainan otak primer kondisi kronis dan cukup serius. Penyakit ini menimpa lebih dari 8,2/1000 penduduk dan tersebar di seluruh dunia. Menimpa anak dan dewasa di atas 60 tahun dengan konsekuensi beban biaya penyediaan obat-obat dan sebagainya. ILAE sebagai organisasi internasional yang bergerak di bidang epilepsi bersama WHO dan perwakilan seluruh negara melakukan upaya penyembuhan epilepsi secara komprehensif.

"Secara umum, pengobatan dapat diberikan dalam bentuk obat-obatan atau bila ini mengalami suatu keberhasilan, masih perlu dipertimbangkan lagi, dalam artian membutuhkan dukungan lagi, maka kita bisa melihat adanya diet ketogenik dan pembedahan yang bisa membantu. Bahwa saat ini pengobatan epilepsi di Indonesia telah bisa dilakukan seluruh wilayah karena tersedia di seluruh fasilitas kesehatan serta tenaga medis yang telah tersebar. Secara umum, Pemerintah telah menyediakan asuransi kesehatan (BPJS) dan masyarakat ada juga yang menggunakan asuransi swasta maupun secara mandiri," papar Aris.

Testimoni yang bias

Sementara itu, ahli pemerintah lainnya, Rianto Setiabudy, mengakui ada testimoni masyarakat akan efek positif memakai ganja. Namun, pengakuan itu secara ilmiah masih bias.

"Walaupun dapat memberikan informasi kepada kita mengenai kemungkinan adanya manfaat potensial suatu obat atau (ucapan tidak terdengar jelas), testimoni tidak termasuk syarat pembuktian efektivitas yang sahih karena mudah sekali terjadi bias di situ," kata Rianto.

Rianto setuju mencari jawaban yang benar mengenai adanya efektivitas suatu obat ialah melakukan penelitian dengan kaedah ilmiah yang baik. Karena itu, saya amat setuju bahwa pintu penelitian harus dibuka untuk obat narkotika golongan I.

"Semua penelitian, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri harus kita terima sepanjang memenuhi syarat dan bebas dari bias," ujar Rianto.

Sebagaimana diketahui, sidang judicial review UU Narkotika itu diajukan oleh Dwi Pratiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Murhayati, yang meminta MK melegalkan ganja untuk kesehatan. Dwi merupakan ibu dari anak yang menderita cerebral palsy, yakni lumpuh otak yang disebabkan oleh perkembangan otak yang tidak normal. Sedangkan Santi dan Nafiah merupakan ibu yang anaknya mengidap epilepsi. (Ed: ha)

 

Baca selengkapnya di: Detik News

Ahli: Organisasi Epilepsi Dunia Belum Sepakat Ganja untuk Kesehatan