Merindukan “Duel Maut“ Schmidt vs Franz Strauss
20 September 2021Angela Merkel memilih untuk tidak lagi jadi kanselir, jabatan yang melekat padanya selama 16 tahun kerakhir. Konstelasi global pun diprediksi akan miliki wajah baru. Pencarian pemimpin tertinggi baru sudah dimulai. Pemerhati politik dari Universitas Bonn, Jerman, Timo Duile memandang, dalam pencarian pemimpin baru ini sangat disayangkan bahwa beberapaisu politikpenting tidak banyak diperdebatkan. Misalnya perubahan iklim, isu pengungsi atauintergrasi imigran dan penanganan COVID-19. Padahal menurutnya, isu-isu tersebut mengubah kehidupan warga Jerman pada masa depan dan merupakan topik yang penting tidak hanya untuk Jerman tapi juga buat Eropa atau bahkan global. "Cuaca ekstrem akan terjadi lebih sering dan kemarin kita sudah mengalami itu di Jerman misalnya, pada musim panas suhu naik ada bencana banjir kemarin yang dengan banyak korban jiwa bahkan, atau misalnya isu pengungsi, atau memang masih ada isu corona dan bagaimana misalnya dengan orang yang tidak mau di vaksin. Bagaimana nanti kalau seandainya kasus-kasus corona naik," demikian kritiknya.
Timo Duile menilai, partai-partai besar di Jerman selama ini kurang fokus dengan isu-isu politik tersebut. Mereka dianggapnya lebih peduli dengan calon-calon kanselir dari partai mereka dan apa yang mereka lakukan di masa kampanye: "Semua calon sekarang berusaha untuk tidak mengeluarkan pernyataan yang kontroversial, karena mereka kira kalau tidak melakukan sesuatu yang salah, nanti mereka beruntung dalam perolehan suara, jadi mereka sangat hati-hati."
Mengikuti jejak Merkel
Menurut Timo, sekarang partai-partai besar di Jerman yaitu Partai Kristen Demokrat CDU yang konservatif,Partai Sosial Demokrat SPD, dan die Grünen yang ekologis, kini semuanya agak sentris dan takut akan mobilisasi di pinggir spektrum partai politik. "Karena kalau mereka membuat isu kontroversial, nanti orang jadinya mungkin memilih partai lain yang bukan partai sentris. Calon-calon kanselir mereka, Armin Laschet, Annalena Baerbock dan Olaf Scholz, mereka tidak saling "mengganggu". Mereka tidak seperti kampanye dulu misalnya pada tahun 1980-an tatkala Franz Josef Strauss dan Helmut Schmidt benar-benar berantem. Sekarang kita jarang sekali lihat politikus benar-benar berantem kontroversial," tandasnya merindukan era tersebut.
Citra Angela Merkel sebagai pemimpin selama ini menurut Timo berdampak yang lumayan besar untuk politik Jerman, karena mampu untuk mewujudkan konsensus dan mengubah posisinya tidak terlalu taat soal ideologi konservatifnya. Jadi kemungkinan jejaknya akan dikuti pemimpin yang baru, ujar Timo. "Dia agak pragmatis dan gaya politik ini justru membuat Angela Merkel menjadi politikus yang paling populer di Jerman. Saya kira kalau kanselir baru ikut seperti politik Merkel untuk mewujudkan konsensus dan mengubah sisi politik kalau lagi memang ada isu-isu penting, misalnya dalam krisis pengungsi kemarin atau pada saat ada bencana di Jepang dan Angela Merkel cepat sekali mampu untuk mengubah posisi menengahi tenaga nuklir. Dulu Merkel mendukung tenaga nuklir lalu karena bencana dia mengganti posisi. Karena dia juga lihat dalam masyarakat ada penolakan terhadap tenaga nuklir yang cukup kuat. Dan saya kira, kanselir baru juga akan belajar dari itu, karena mereka sangat sadar bahwa itu justru membuat Merkel cukup populer."
Keraguan dalam menentukan pilihan
Diana Nasution, warga Jerman keluarganya yang berasal dari Indonesia menyebutkan pemilu kali ini agak sulit baginya dalam menentukan pilihan: "Sebab masing masing partai mempunyai program tersendiri dan berjanji akan melakukan yg terbaik untuk Jerman, padahal akhirnya kita tahu sendiri, bahwa janji-janji tersebut hanya omong kosong belaka, yang tidak bisa mereka tepati,” papar perempuan yang bermukim di Kota Köln itu.
Diana akan memilih Partai Hijau untuk tahun ini meski dibayangi keraguan: "Apabila saya memilih Partai Hijau, tetap saja masalah lingkungan hidup dan bencana alam tidak bisa ditangani dengan baik padahal mereka sudah banyak menjanjikan akan mencari solusi untuk menangani masalah iklim, di mana tak satu orang pun percaya akan hal ini.”
Sementara itu warga Jerman yang berdomisili di Kota München, Deborah Urban melihat sangat sulit untuk menilai partai mana yang akan menang, karena sejauh ini belum ada yang bisa membedakan visnya satu sama lain secara tegas. "Jika Anda berbicara dengan keluarga dan teman, Anda akan menemukan bahwa bahkan beberapa minggu sebelum pemilihan, banyak yang masih merasa tidak yakin partai mana yang ingin mereka pilih," ungkapnya. Dia berpendapat partai-partai populer tradisional khususnya telah kehilangan banyak popularitas dan kepercayaan dari masyarakat dalam beberapa tahun terakhir. "Padahal tantangan yang kita hadapi sangat besar: perubahan iklim, pandemi korona, digitalisasi, kebijakan luar negeri yang tidak pasti," papar Deborah.
Apakah artinya partai lain yang akan mengambil keuntungan dalam pemilu ini? Yang jelas, menurut Timo Duile, Partai AfD yang kanan tak akan lagi meraup suara sebanyak pemilu sebelumnya."AfD, mereka memang menjadi semakin radikal. Lalu sebenarnya mereka jadi populer waktu mereka menjadi semakin kanan dan itu berbahaya menurut saya. Hanya sekarang mereka kehilangan topik pengungsi dan politik identitas yang 4-5 tahun lalu masih laku. Nah, sekarang ini isu-isu seperti corona atau perubahan iklim lebih penting daripada isu pengungsi. Tapi kemungkinan perolehan suara mereka tetap masih cukup kuat, masih kira-kira 10% dan itu memang sangat banyak untuk sebuah partai yang begitu kanan," pungkasnya.