Karena Golput adalah Pilihan Politik
15 Oktober 2018Lewat surat suara yang dikirim oleh Konjen RI di Los Angeles ke alamat rumah saya di Arizona, tahun 2014 saya coblos nama Ir Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi presiden Republik Indonesia selama lima tahun.
Pertimbangan saya saat itu sangat sederhana: Prabowo yang menjadi kompetisi Jokowi adalah mimpi buruk era 1990-an, saat saya masih aktif turun ke jalan untuk berdemo, termasuk ikut melakukan advokasi terhadap kaum buruh dan petani. Senior sekaligus mentor politik saya di kampus, Pius Lustrilanang, adalah salah salah korban penculikan yang mengalami penyiksaan. Meski kemudian ia justru bergabung dengan partai Gerindra yang dipimpin oleh Prabowo. Jangan tanya saya bagaimana logikanya, Pius punya penjelasan sendiri untuk pilihan politiknya yang ajaib.
Mendukung Prabowo berarti mendukung Suharto. Ia jelas bagian dari dinasti Suharto. Saat Suharto berkuasa, militer sepenuhnya memegang kendali di Indonesia. Beragam peristiwa kekerasan yang dimotori militer menjadi bagian sejarah pahit yang tak bisa dihapus, dari Timor-Timur (sekarang Timor Leste) hingga DOM Aceh, belum lagi soal gerakan buruh.
Untuk generasi milenial yang tak banyak tahu soal masa lalu, baiklah saya kenalkan Marsinah. Ia aktivis buruh yang vokal, perempuan yang luar biasa berani. Marsinah disiksa, dibunuh, lantas mayatnya dibuang di Nganjuk. Melalui otopsi ditemukan banyak bekas luka penyiksaan, termasuk temuan yang meninggalkan trauma, bahkan pada kami yang hanya membaca laporan tersebut di koran: vagina Marsinah ditembus benda tumpul hingga ke rahim. Sekeji-kejinya manusia adalah mereka yang melakukan penyiksaan, menurunkan perintah untuk melakukan penyiksaan, dan menutupi kebiadaban itu dengan menjerat orang yang tak bertanggung jawab untuk menjadi kambing hitam.
Tahun 2014, ketika kandidat presiden yang ditawarkan antara Jokowi yang belum banyak memiliki dosa politik dan Prabowo yang memiliki catatan menculik aktivis, sangatlah gampang menjatuhkan pilihan. Saya dengan riang dan penuh percaya diri memilih Jokowi yang saat itu berpasangan dengan Jusuf Kalla.
Prestasi Jokowi sebagai walikota Solo, kerjanya yang singkat namun cukup menggembirakan setelah menjabat gubernur DKI Jakarta menjadi tambahan alasan untuk memilih. Belum lagi wakil gubernur, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang kelak membawa perubahan signifikan pada ekspektasi rakyat terhadap pemimpin daerah sungguh membawa harapan bagi perubahan konstelasi politik Indonesia. Dalam pilpres 2014, rakyat diambil hati, dijadikan pertimbangan, dibaik-baiki, dan menjadi bintang dalam pesta politik lima tahunan.
Kekecewaan
Pesta demokrasi usai, Jokowi pun berkuasa. Sebagai pemilih, harapan-harapan pun disematkan di pundak Jokowi. Harapan-harapan yang makin lama makin banyak ditabrak oleh langkah-langkah pragmatis yang ditempuh Jokowi. Namun, sebagai pemilih ada banyak pemakluman-pemakluman terhadap beragam keputusan Jokowi. Sebagian agak bisa dimaklumi, sebagian lagi sangat sulit diterima dan mengganggu.
Salah satunya penunjukan Wiranto sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang direaksi keras oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Wiranto adalah salah satu sosok di balik pelanggaran HAM berat saat aktif menjabat di militer. Berdasarkan catatan Komnas HAM, Wiranto terlibat penyerangan 27 Juli (penyerbuan kantor PDI), Tragedi Trisakti, peristiwa Mei 1998, Peristiwa Semanggi I dan II, penculikan dan penghilangan aktivis prodemokrasi tahun 1997/1998, dan peristiwa Biak Berdarah. Ia pun menurut laporan khusus 92 halaman yang dikeluarkan Serious Crimes Unit bentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa disebut gagal mencegah terjadinya kejahatan HAM di Timor Leste.
Tentu tak melulu kekecewaan yang muncul dari pemerintahan Jokowi. Ada banyak catatan keberhasilan yang membuat saya dan pendukung lain merasa tak sia-sia memilih Jokowi. Yang paling menonjol dalam pemerintahan Jokowi adalah pembangunan infrastruktur di berbagai pelosok negeri, tak hanya di pulau Jawa. Indonesia bagian timur pun menjadi sasaran Jokowi dalam membangun infrastruktur.
Hal lain lagi yang membawa angin segar bagi Indonesia, anak-anak Jokowi tak ikut terlibat menjadi pejabat partai atau menduduki jabatan strategis di pemerintahan. Untuk kami yang mencicipi hidup di zaman Suharto yang kental dengan nepotisme, sikap Jokowi yang tak melibatkan anak-anaknya sungguh melegakan.
Pilpres 2019 sudah di depan mata. Sekali lagi saya dan seluruh warga Indonesia yang memiliki hak pilih dihadapkan pada ujian untuk memilih presiden. Bila tahun 2014 lalu saya dengan enteng memilih Jokowi, kali ini hati terasa berat dan tak rela. Ia tak lagi sosok yang tak memiliki dosa politik.
Berbagai catatan buruk mewarnai pemerintahan Jokowi, termasuk berbagai kasus yang menunjukkan gagalnya pemerintah melindungi kaum minoritas. Pasal penistaan agama yang memakan korban, penutupan rumah ibadah, kekerasan terhadap kaum marginal, dan banyak lagi yang membuat saya kecewa dan lelah memaklumi.
Namun puncak kekecewaan saya terjadi saat Jokowi secara resmi mengumumkan cawapres yang akan mendampinginya dalam pilpres 2019. Pada 9 Agustus 2018 Jokowi secara resmi memilih Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus Rais ‘Aam PBNU Prof Dr KH Ma'ruf Amin.
Pilihan ini merupakan hasil kompromi dengan partai-partai pendukungnya, dan merupakan upaya meraih suara dari golongan Islam konservatif, termasuk menepis tuduhan Jokowi sebagai anti ulama. Sebuah keputusan yang sulit saya terima. Saya tak bersedia ketua MUI menjadi pendamping Jokowi dalam memerintah, apalagi salah satu alasan saya memilih Jokowi karena ia mengusung suara kaum pluralis.
Yang lebih mengecewakan, tokoh agama yang diusung Jokowi memiliki catatan buruk dalam bersikap terhadap kaum minoritas, termasuk soal kesaksiannya dalam sidang kasus penodaan agama yang memberatkan Ahok dan akhirnya mengirim Ahok ke penjara. Dalam kesaksiannya, sebagai ketua MUI, Ma'ruf Amin mengatakan lembaganya tidak pernah minta klarifikasi dari Ahok terkait ucapannya yang mengutip surat Al-Maidah ayat 51. Tanpa klarifikasi, Ma'ruf meyakini Ahok telah melakukan penghinaan.
Ketika saya dengan lantang berteriak akan mempertimbangkan untuk menjadi Golongan Putih (Golput) dalam pilpres 2019, cercaan pun datang bertubi-tubi, terutama dari mereka sesama pemilih Jokowi. Ucapan "jangan baper”, "daripada Prabowo menang”, "yang penting capresnya”, "Ahok aja sudah maafin, kok kamu belum move on” pun dilontarkan dengan sengit. Belum termasuk kecaman bahwa bila nanti akhirnya Jokowi kalah, tanggung jawab itu pun dibebankan pada kami kaum Golput.
Golput adalah sikap politik
Untuk saya, keputusan menjadi Golput terjadi karena aspirasi saya sebagai minoritas tak lagi diutamakan oleh Jokowi. Ia lebih memilih memainkan politik identitas dengan memenangkan hati kaum Islam konservatif dan mengesampingkan suara kaum minoritas dan pluralis.
Jokowi lebih memilih mengabaikan suara kaum marginal yang dibungkam oleh kaum religius yang seringkali menjadi pemegang ‘kebenaran' di Indonesia, di atas hukum yang berlaku.
Penutupan gereja, perlakuan diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum LGBT sering dibiarkan demi menyenangkan kaum mayoritas. Pilihan Jokowi KH Ma'ruf Amin yang memiliki catatan kontroversial ketika menyangkut soal kaum minoritas sulit untuk saya dukung. Ia jelas bukan tokoh pluralis dan toleran, lantas buat apa saya mendukung Jokowi lagi?
Kalau pun terjadi Jokowi kalah karena banyak yang menjadi Golput, tentu bukan tanggung jawab mereka yang Golput, apalagi tanggung jawab saya. Itu risiko yang sudah diperhitungkan matang oleh Jokowi ketika memutuskan untuk meraih simpati kaum religius.
Banyak yang mencoba menakut-nakuti saya dengan bilang keputusan saya menjadi Golput akan memperbesar peluang Prabowo untuk menang. Mereka mencoba mengingatkan saya atas beragam dosa Prabowo di masa lalu yang mengerikan, dan kemungkinan akan muncul lagi bila ia diberi kesempatan menjabat presiden.
Sayangnya, ada satu yang tak mereka pahami tentang Golput. Ketika seseorang telah memutuskan untuk menjadi Golput, ia tak lagi peduli dengan siapa yang akan memenangkan pertarungan. Saat ini, kedua pilihan sama buruknya dan saya menolak untuk menjadi bagian dari yang memenangkan salah satu pasangan. Pemikiran "the lesser of two evils” pun tak lagi bisa menjadi pembenaran. Bagi saya, siapapun yang menang, saya tetap menjadi pihak yang kalah. It's as simple as that.
@sheknowshoney bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Anda dapat berbagi opini di kolom komentar di bawah.