1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Menag Sama Sekali Tak Bandingkan Suara Azan dan Suara Anjing

24 Februari 2022

Kementerian Agama menegaskan Menag tidak membandingkan suara azan dengan suara anjing. Selain itu, tidak ada larangan masjid dan musala menggunakan pengeras suara. Surat edaran mengatur volume suara agar maksimal 100 dB.

https://p.dw.com/p/47VMS
Idul Fitri di Masjid Al Azhar, Jakarta
Surat edaran Kementerian Agama mengatur penggunaan toa di masjid dan musala, agar tak terjadi gangguan di masyarakatFoto: Willy Kurniawan/REUTERS

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama (Kemenag), Thobib Al Asyhar, menegaskan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas tidak membandingkan suara azan dengan suara anjing. Menurutnya, Yaqut memberikan contoh tentang pentingnya pengaturan kebisingan pengeras suara atau toa masjid.

Thobib menyebut narasi yang mengatakan Menag Yaqut membandingkan suara azan dan suara anjing itu tidak tepat.

"Menag sama sekali tidak membandingkan suara azan dengan suara anjing, tapi Menag sedang mencontohkan tentang pentingnya pengaturan kebisingan pengeras suara," kata Thobib Al-Asyhar dalam keterangannya, Kamis (24/02).

Thobib menjelaskan pernyataan Menag Yaqut saat ditanya wartawan tentang Surat Edaran (SE) Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala dalam kunjungan kerjanya di Pekanbaru. Menurutnya, saat itu Menag Yaqut menjelaskan, di dalam hidup masyarakat yang plural, diperlukan toleransi. Oleh karena itu, diperlukan pedoman bersama agar kehidupan harmoni tetap terawat, termasuk tentang pengaturan kebisingan pengeras suara apa pun yang bisa membuat tidak nyaman.

"Dalam penjelasan itu, Gus Menteri memberi contoh sederhana, tidak dalam konteks membandingkan satu dengan lainnya, makanya beliau menyebut kata misal. Yang dimaksud Gus Yaqut adalah misalkan umat muslim tinggal sebagai minoritas di kawasan tertentu, di mana masyarakatnya banyak memelihara anjing, pasti akan terganggu jika tidak ada toleransi dari tetangga yang memelihara," papar Thobib.

"Jadi Menag mencontohkan, suara yang terlalu keras, apalagi muncul secara bersamaan, justru bisa menimbulkan kebisingan dan dapat mengganggu masyarakat sekitar. Karena itu, perlu ada pedoman penggunaan pengeras suara, perlu ada toleransi agar keharmonisan dalam bermasyarakat dapat terjaga. Jadi dengan adanya pedoman penggunaan pengeras suara ini, umat muslim yang mayoritas justru menunjukkan toleransi kepada yang lain sehingga keharmonisan dalam bermasyarakat dapat terjaga," ungkapnya.

Tidak ada larangan penggunaan pengeras suara

Sementara itu, Thobib menjelaskan, Menag tidak melarang masjid dan musala menggunakan pengeras suara saat azan. Sebab, hal itu memang bagian dari syiar agama Islam.

Adapun surat edaran yang diterbitkan Menag mengatur terkait volume suara agar maksimal 100 dB (desibel). Selain itu, mengatur tentang waktu penggunaan disesuaikan di setiap waktu sebelum azan.

"Jadi yang diatur bagaimana volume speaker tidak boleh kencang-kencang, 100 dB maksimal. Diatur kapan mereka bisa mulai gunakan speaker itu sebelum dan setelah azan. Jadi tidak ada pelarangan," ujarnya.

"Dan pedoman seperti ini sudah ada sejak 1978, dalam bentuk Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam," tuturnya.

Pernyataan kontroversial

Sebelumnya, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan surat edaran mengatur penggunaan toa di masjid dan musala. Yaqut mengatakan pemerintah mengatur volume toa masjid agar tak terjadi gangguan.

"Soal aturan azan, kita sudah terbitkan surat edaran pengaturan. Kita tidak melarang masjid-musala menggunakan toa, tidak. Silakan, karena itu syiar agama Islam," katanya di Gedung Daerah Provinsi Riau, Rabu (23/02).

Meskipun begitu, ia meminta volume suara toa diatur maksimal 100 dB (desibel). Selain itu, waktu penggunaan disesuaikan di setiap waktu sebelum azan. Yaqut menilai suara-suara toa di masjid selama ini adalah bentuk syiar. Hanya, jika dinyalakan dalam waktu bersamaan, akan timbul gangguan.

"Karena kita tahu, misalnya ya di daerah yang mayoritas muslim. Hampir setiap 100-200 meter itu ada musala-masjid. Bayangkan kalau kemudian dalam waktu bersamaan mereka menyalakan toa bersamaan di atas. Itu bukan lagi syiar, tapi gangguan buat sekitarnya," katanya.

"Kita bayangkan lagi, saya muslim, saya hidup di lingkungan nonmuslim. Kemudian rumah ibadah saudara-saudara kita nonmuslim menghidupkan toa sehari lima kali dengan kenceng-kenceng, itu rasanya bagaimana," kata Yaqut lagi.

Ia kemudian mencontohkan suara-suara lain yang dapat menimbulkan gangguan. Salah satunya suara gonggongan anjing.

"Yang paling sederhana lagi, kalau kita hidup dalam satu kompleks, misalnya. Kiri, kanan, depan, belakang pelihara anjing semua. Misalnya menggonggong dalam waktu bersamaan, kita ini terganggu nggak? Artinya apa? Suara-suara ini, apa pun suara itu, harus kita atur supaya tidak jadi gangguan. Speaker di musala-masjid silakan dipakai, tetapi tolong diatur agar tidak ada terganggu," katanya.

Yaqut kemudian meminta agar suara toa diatur waktunya. Jadi niat untuk syiar tidak menimbulkan gangguan masyarakat.

"Agar niat menggunakan speaker sebagai untuk sarana, melakukan syiar tetap bisa dilaksanakan dan tidak mengganggu," kata Yaqut. (Ed: ha/rap)

 

Baca selengkapnya di: Detik News

Kemenag: Menag Sama Sekali Tak Bandingkan Suara Azan dan Suara Anjing