Mempelajari Tata Rias dan Busana di Jerman
23 November 2020Wangi Bunga, pelajar asal Jogjakarta ini sedang menempuh tahun kedua program Ausbildung Maskenbilner atau tata rias di Hans Hugo Maskenbilderschule Berlin. Sedang Judith Tedjamulja, kini telah bekerja di salah satu toko retail pakaian internasional di Berlin. Judith baru saja menyelesaikan Ausbildungnya di Berufskolleg Design Stuttgart mengambil jurusan mode desain.
Ketertarikan akan dunia teater sejak kecil membawa Wangi belajar ke Jerman. "Dulu kalau ada teater sekolah, saya suka bantu makeupin, pernah jadi sutradara artistik juga saat pentas Teater sekolah dulu merancang make up karakter tokoh-tokoh teater," jelas Wangi. Wangi pun mencoba sekolah tata rias lokal di daerahnya, tapi saat itu tidak banyak yang menawarkan spesifikasi khusus tata rias panggung atau tata rias karakter. Ia pun mencari sekolah kejuruan di Jerman, berbekal Bahasa Jerman yang telah dipelajarinya semenjak sekolah menengah, ia mencoba melamar ke sekolahnya kini di Berlin. Wangi mengaku tak sulit untuk masuk ke sekolahnya kini, asalmemiliki kemampuan bahasa (B1) yang baik, melengkapi syarat dokumen, dan membuat CV serta surat motivasi yang baik, meski diakuinya ausbildung maskenbildner merogoh kocek yang tak sedikit.
Judith punya cerita yang berbeda, sarjana lulusan desain komunikasi visual ini memang sudah lama menggemari dunia mode. Berbekal kursus busana di Jakarta, ia pun kian serius menata busana, ragam karya busananya telah mengisi film-film layar lebar Indonesia, ia bahkan sempat jadi konsultan busana untuk majalah dan televisi. Mengambil ausbildung di Jerman berarti meninggalkan zona nyaman di kampung halaman dan memulai kembali belajar dari dasar. "Direktur sekolah sempat tanya juga setelah lihat portofolio saya, 'Yakin belajar dari awal lagi?', kujawab ya! Karena aku ingin belajar dasar dan punya fondasi yang kuat di dunia mode,"jelas Judith seputar alasannya kembali mengambil progam ausbildung di Jerman. Jerman memang tidak dikenal sebagai negara mode, tetapi Judith punya ketertarikan sendiri dengan Jerman, biaya ausbildung mode di negara ini pun tidak mahal seperti negara-negara lain.
Berkarya tanpa melupakan kimia, biologi, dan sejarah...
"Dulu saya gak tahu kalau make up teater itu harus tebal dan berkarakter - ada testnya, dari jarak 20 meter harus bisa kelihatan, di sekolah ini saya belajar make up karakter dan belajar sfx atau special effect make up artist. SfX bisa mengubah penampilan biasa berubah 180 derajat, jadi monster atau jadi orangyang 20 tahun lebih tua, belajar banyak teknik," jelas Wangi bersemangat. Di program studinya dia bebas mempergunakan seluruh peralatan make up yang ada. Para pelajarnya dilatih untuk membuat perlengkapan make-upnya sendiri seperti topeng wajah, kumis, kreasi rambut, dan perlengkapan riasan lainnya lainnya.
Uniknya ada juga pelajaran kimia bagi perias, dimana mereka harus memahami bahan kimia apa yang sebaiknya tidak diaplikasikan di wajah - mana yang rentan panas atau mudah terbakar. Mata pelajaran biologi pun ada. Disini kita belajar terutama biologi kulit. "Jadi kita ndak sembarangan bikin efek, tapi harus tahu materialnya, jenis kulit pemakainya juga harus tahu jelas. Harus hati-hati karena tata rias dengan efek itu bisa berbahaya, bisa membuat kulit rusak, juga bisa buat kebutaan," ujar wangi seputar studinya.
Tak hanya Wangi, Judith pun mengakui ada banyak mata pelajaran unik yang ada di program Ausbildungnya. "Belajar mode tak melulu berurusan dengan mesin jahit dan desain pakaian, kita juga harus belajar matematika! Ini sulit, sempat mau nyerah tapi ternyata lewat juga,"jelas Judith sembari tertawa. Ada juga kelas teknologi kain, belajar perjalanan sejarah kain dan jenis mode masa ke masa hingga kini berkembang sampai jenis label ramah lingkungan banyak jenisnya. Uniknya para pelajar pun harus berani bereksperimen membuat kain dengan motif buatannya sendiri. "Tak sia-sia belajar desain komunikasi visual dulu, buatku eksperimen itu menyenangkan, bermain dengan konsep dan warna," tambah Judith.
Meski aktif merancang busana, bahasa Jerman bagi Judith adalah tantangan terbesar. Ujian tak selamanya berpraktik dan merancang tapi siswa diharuskan untuk mampu menulis essai yang baik serta berkomunikasi dengan baik. Istilah daridunia desain dan mode harus dipahami dengan baik.
Ilmu praktis penunjang hidup...
Beberapa program Ausbildung memang menawarkan program kerja sampingan. Misalnya bekerja di pertunjukkan opera atau jadi perias aktor film. Namun situasi berbeda di masa Pandemi Covid-19 menyebabkan banyak pertunjukkan teater ditutup, pekerjaan yang ditawarkan pun minim.
Wangi yang bekerja sambilan di pementasan teater anak-anak atau acara opera atau job fair pun mesti mencari alternatif lain. Ia pun beralih profesi jadi tukang potong rambut keliling. Kebayakan customernya adalah mahasiswa dan keluarga. Tinggal membuat janji, Wangi akan mendatangi para customernya. Harga potongannya pun tak mahal, ramah di kocek mahasiswa dan pelajar. "Sekalian nambah jam terbang, mbak!"jelasnya optimis. Ia pun menerima jasa hair do untuk acara-acara tertentu.
Bahasa pun bekal berharga yang menghantarkan Judith untuk bekerja merancang busana di pagelaran Teater Stuttgart. Judith merasa menemukan panggilannya di desain busana untuk pertunjukkan teater, namun sayangnya wabah Covid-19 membuat Judith tidak bisa bertahan lama di sana. Namun kini, Judith bekerja di perusahaan retail pakaian di Berlin. "Setidaknya memulai kembali, sembari terus jahit dan merancang," jelas Judith positif.