Melihat Upaya Eropa Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan
11 Mei 2021Belum lama ini, Konvensi Istanbul dibayangi oleh beberapa perlawanan pemerintah, termasuk dari Turki, yang pada Maret lalu mengumumkan mundur dari perjanjian yang disepakati 10 tahun lalu itu.
Meski menuai pemberontakan, sejumlah kemajuan telah dicapai.
Apa yang telah dicapai?
Selain Turki, 44 negara telah menandatangani perjanjian itu. Para ahli dan aktivis mengatakan salah satu pencapaian terbesar Konvensi Istanbul adalah banyak negara, seperti Jerman, Swedia, Denmark, Kroasia, dan Yunani, yang telah mengubah definisi hukum pemerkosaan sesuai kesepakatan.
"Pemerintah Yunani saat itu benar-benar mengakui bahwa Konvensi Istanbul adalah tempat mereka ingin menerapkan undang-undang domestik ini dan membawanya ke standar itu," kata Anna Blus, seorang peneliti di Amnesty International, kepada DW.
Sebelumnya, sebagian besar negara Eropa tidak mendefinisikan seks tanpa persetujuan sebagai pemerkosaan. Sebaliknya, banyak negara membutuhkan tindakan kekerasan, ancaman, atau intimidasi - yang berarti jaksa kerap kali harus mengurangi dakwaan pelaku ke kejahatan yang lebih ringan, yaitu pelecehan seksual dengan harapan mendapatkan hukuman.
Sejak 2018, Spanyol mengumumkan rencana untuk mengubah hukumnya agar lebih sejalan dengan definisi pemerkosaan atas dasar persetujuan. Belanda juga diharapkan melakukan hal serupa.
Reformasi hukum itu juga didorong oleh gerakan #MeToo, seiring dengan meningkatnya tuntutan perlindungan terhadap korban pelecehan seksual. "Pastinya, menurut saya jika tidak ada gerakan #MeToo, kami tidak akan ada di sini,” kata Blus, merujuk pada beberapa negara yang telah mereformasi undang-undang sejak gerakan itu dimulai.
Hillary Margolis, peneliti senior di Human Rights Watch, juga mencatat bahwa perjanjian tersebut telah membantu memberlakukan undang-undang yang mengkriminalisasi jenis-jenis pelecehan, seperti kawin paksa anak di bawah umur, mutilasi alat kelamin perempuan, dan penguntitan.
Keuntungan lainnya adalah beberapa negara meningkatkan layanan untuk menjangkau korban kekerasan dalam rumah tangga. "Finlandia misalnya, saluran bantuan 24/7 bagi korban KDRT," kata Blus.
Perjanjian 'Bintang Utara'
Perjanjian tersebut lebih menonjol dari kesepakatan lainnya, kata Margolis dari Human Rights Watch. Meski tujuannya adalah untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, para pendukung tidak pernah membayangkan bahwa perjanjian itu berhasil mencapai hajatnya dalam satu dekade.
"Konvensi itu sendiri dalam beberapa hal sangat aspiratif. Untuk mencapai semua itu akan sangat luar biasa - ini semacam Bintang Utara yang membimbing kita dan mendorong pemerintah ke depan."
Mengapa ada penolakan terhadap perjanjian itu?
Belum lama ini beberapa negara bergabung dengan Turki dalam menyuarakan perlawanannya. Polandia juga telah mengumumkan rencana untuk keluar dari konvensi tersebut, sebuah langkah yang menarik banyak kaum konservatif.
Kenapa? Dalam beberapa tahun terakhir, Konvensi Istanbul telah dibayangi informasi salah yang dipolitisasi, seperti promosi pernikahan gay atau membela hak-hak LGBT + lainnya. Terlepas dari itu, perjanjian tersebut hanya membahas upaya mengakhiri kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap perempuan.
"Informasi bahwa perjanjian ini, misalnya, mempromosikan pernikahan homoseksual, itu tidaklah benar," kata Daniel Höltgen, Juru Bicara Sekretaris Jenderal Dewan Eropa, kepada DW.
Aktivis seperti Blus dan Margolis berharap lebih banyak negara akan bergabung dalam perjanjian tersebut. "Konvensi itu tentang menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Itu tujuan satu-satunya. Tidak ada ideologi di belakangnya, tidak ada agama di belakangnya, tidak ada pandangan politik di belakangnya," kata Margolis.
"Ini murni untuk meningkatkan perlindungan bagi semua wanita dan anak perempuan." (ha/vlz)