Media Sebagai Sarana Shitstorm
26 April 2013Bila bintang sebuah klub sepak bola pindah klub, banyak fan yang tidak mau memafkannya. Seperti yang dialami Mario Götze saat ini. Setelah Selasa (23/4) kabar mengenai transfer pemain Borussia Dortmund ke klub Bayern München itu keluar, "shitstorm" atau badai hujatan, caci maki di jejaring sosial di internet menyebar dengan cepat. Dalam waktu singkat, laman Facebook Götze dipenuhi dengan komentar berang. Misalnya, ia disebut Yudas, penghianat dan banyak lagi kata yang lebih buruk.
Hujatan seperti ini juga dialami berbagai politisi, selebritis atau orang terkenal lainnya, termasuk perusahaan ataupun institusi, dan dapat menimbulkan rusaknya reputasi. Uwe Kammann, direktur Institut Grimme di Marl mengatakan, banyak orang yang dihujat kaget bila tiba-tiba 50.000-60.000 laporan negatif dilontarkan atas reaksi suatu pernyataan. Terutama bila badai hujatan elektronik itu sampai ke media klasik, misalnya koran, TV atau radio. Maka makin "shitstorm" itu makin stabil, ujar Kammann.
Tanggung jawab media
Pakar menyebut hal ini sebagai "fenomena virus", karena menyebar cepat seperti epidemi melalui Whatsapp, Facebook dan Twitter. Melaluinya media cetak, online, radio dan TV mendapat tantangan baru, bila itu dilihat sebagai saingan untuk merebut perhatian publik. Uwe Kammann menegaskan, meskipun demikian, peran media klasik masih tetap, yaitu "Mereka bisa memperkuat, mempercepat, tetapi juga tentu dapat menenangkan, bila mereka tidak membiarkan diri terbawa arus."
Pakar media, Christina Schumann dari Universitas Ilmenau mengatakan, biasanya Shitstorm dipicu tidak melalui berita utama media klasik, melainkan oleh pengguna media sosial yang mengungkapkan kemarahannya secara spontan. Jaman sekarang, keberangan itu ditumpahkan di internet kepada masyarakat umum, sehingga membentuk perasaan kebersamaan di masyarakat yang juga marah terhadap hal yang sama.
Terlindung lewat anonimitas
Keberangan rakyat juga bisa terjadi di era non-digital. Namun, melalui "Web 2.0" semakin banyak orang yang ikut menghujat dan caci makinya semakin ganas. Dengan sekali klik, pesan terkirim dan terlihat bagi semua pengguna jejaring sosial di dunia. Selain itu, tulisan tersebut tidak hanya cepat menyebar tetapi juga tanpa dikoreksi, tanpa ada argumen lain yang membantahnya, demikian Christina Schumann. Terlebih lagi, internet menawarkan kemungkinan penggunanya untuk bersifat anonim atau memakai nama palsu, sehingga makian dapat digencarkan. Untuk laporan media klasik, shitstorm menarik jika dapat mengungkapkan sesuatu kejanggalan. Redaksi media klasik memiliki kualifikasi untuk memeriksa tema tertentu secara kritis, tambah Schumann.
Bagaikan anjing menggonggong
Dampak dari shitstorm yang penyebarannya tidak melalui media klasik, masih belum banyak dikenal. Direktur Institut Grimme, Kammann melihat dampaknya masih belum parah. Institut itu sendiri pernah menjadi korban shitstorm, meskipun serangannya tidak besar, ujar Kammann. Lembaga ini sempat dihujat per email dan surat, karena mencalonkan sebuah program televisi sebagai pemenang hadiah yang dikeluarkan Institut Grimm. Program yang dicalonkan itu dianggap pencelanya tidak bermutu dan buruk sekali. Namun pihak terkait mengatakan, shitstorm datang dengan tiba-tiba dan menghebohkan, tetapi biasanya juga cepat menghilang, bagaikan anjing yang menggonggong. Jadi abaikan saja.