Apakah Publik Dukung Koopsusgab Tangani Terorisme?
22 Mei 2018Belakangan ini Presiden Joko Widodo telah menyetujui untuk mengaktifkan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) TNI yang beranggotakan para prajurit elite dari kesatuan-kesatuan khusus di tiga angkatan (darat, laut dan udara) yang dulu, pada 2015, pernah dibentuk ketika Moeldoko menjabat sebagai Panglima TNI.
Begitu mendapat restu dari presiden, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto langsung meresmikan Koopsusgab TNI tersebut. Dikabarkan bahwa keberadaan Koopsusgab TNI ini untuk membantu Kesatuan Antiteror Polri (Densus 88) memberantas terorisme. Jadi, Koopsusgab TNI ini akan diterjunkan secara penuh apabila diperlukan dan seandainya Polri keteteran mengatasi terorisme.
Pengaktifan kembali Koopsusgab TNI itu dilakukan guna merespons serangkaian aksi brutal terorisme belakangan ini di berbagai tempat: rutan Mako Brimob, Polwiltabes Surabaya, gereja-gereja di Surabaya, Mapolda Riau, dan lain sebagainya. Ada sejumlah alasan mendasar kenapa Presiden Joko Widodo merasa perlu mengaktifkan kembali Koopsusgab TNI untuk menangani terorisme. Pertama, para teroris sudah terang-terangan melakukan perlawanan terhadap aparat penegak hukum dengan melancarkan serangkaian serangan dan aksi bom bunuh diri yang menyasar anggota dan properti Polri. Bukan hanya itu saja, para teroris juga sudah berani secara terbuka melakukan penyiksaan secara kejam sebelum membunuh terhadap sejumlah anggota Polri di rutan Mako Brimob.
Kedua, organisasi teroris transnasional ISIS sudah terang-terangan mengancam Indonesia akan dijadikan sebagai "markas terorisme” internasional setelah mereka terdesak dan kalah perang di Suriah dan Irak. Pimpinan ISIS juga secara terbuka mengancam akan meluluhlantakkan Indonesia sebagaimana yang mereka lakukan di sejumlah kawasan di Timur Tengah. ISIS sendiri sudah mengklaim sebagai otak sejumlah aksi bom bunuh diri di Indonesia belakangan ini.
Tidak seperti para teroris terdahulu (seperti para pelaku Bom Bali atau Bom Marriot) yang terkait dengan jaringan Al-Qaedah, para pelaku teror belakangan ini yang tergabung di Jaringan Ansharud Daulah (JAD) memang mengklaim sebagai "kaki tangan” ISIS. Polri juga mengindikasikan ada 500-an warga Indonesia yang diduga ikut bergabung dengan ISIS di Suriah.
Karena terorisme dinilai mengancam eksistensi ideologi dan kedaulatan negara serta keamanan teritori Indonesia, maka presiden merasa perlu untuk melibatkan TNI.
Reaksi Publik atas Koopsusgab TNI
Lalu, bagaimana reaksi publik atas keputusan mengaktifkan kembali Koopsusgab TNI ini?
Pada tanggal 19 Mei 2018, saya mengadakan polling di akun Facebook untuk menjaring aspirasi publik (masyarakat) tentang hal ini. Data yang masuk / terhimpun selama 20 jam sejak saya memosting poll, ada sekitar 17,1 ribu yang memilih. Hasilnya adalah 93% (sekitar 16,6 ribu pemilih) menyetujui pengaktifan kembali Koopsusgab TNI tersebut, sementara 3% (sekitar 400an pemilih) menyatakan tidak setuju.
Jadi mayoritas publik Indonesia sangat menyetujui jika Koopsusgab TNI diaktifkan kembali guna membantu Polri memerangi dan memberantas ideologi terorisme dan komplotan teroris.
Selain ada 17,1 ribu (untuk sementara) yang berpartisipasi dalam polling ini, juga ada ribuan orang yang memberi komentar atas alasan mereka menyatakan kesetujuan (atau ketidaksetujuan) terhadap pengaktifan kembali Koopsusgab TNI ini.
Karena keterbatasan ruang, saya tidak bisa membahas semua pendapat dan argumen mereka di tulisan ini. Meski begitu, secara garis besar ada sejumlah alasan fundamental kenapa mereka menyatakan setuju atau tidak setuju dengan wacana dan kebijakan ini.
Kelompok yang menyetujui pengaktifan kembali Koopsusgab TNI, antara lain, berargumen sebagai berikut:
· Indonesia mengalami "darurat terorisme” dimana komplotan teroris, pendukung, dan simpatisannya sudah merajalela dan menggurita dimana-mana. Oleh karena itu diperlukan kewaspadaan dan kesiagaan khusus dan berlapis untuk menanggulangi bahaya laten teroris.
· Teroris sudah sangat militan dan "canggih” (misalnya memiliki kemampuan merakit bom) sehingga perlu back up TNI untuk mencegah dan menindak jaringan teroris.
· Terorisme sudah terang-terangan mengancam pondasi kebangsaan, sendi-sendi kenegaraan, kedaulatan negara, dan keamanan teritori Indonesia.
· Teroris telah melakukan serangkaian kejahatan bahkan sangat keterlaluan dan sangat kejam: menyiksa anggota Polri, melibatkan anak-anak kecil dalam aksi bom diri, membunuh orang-orang tak berdosa, melawan aparat hukum, merusak fasilitas publik, meneror masyarakat, serta memecah belah umat beragama.
· Terorisme sudah seperti kanker ganas yang sangat membahayakan kesehatan "tubuh” NKRI, warga negara, dan bangsa Indonesia.
· Teroris sudah terang-terangan mendelegitimasi ideologi dan konstitusi negara serta simbol-simbol kenegaraan.
· Keterlibatan TNI akan mempersempit ruang gerak teroris dan mempermudah memberantas kaum teroris sampai ke akarnya.
· Melalui UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, TNI sebetulnya juga mempunyai wewenang untuk memberantas terorisme. Jadi, pemberantasan terorisme itu juga menjadi bagian dari TNI untuk menjaga kedaulatan negara dan keutuhan NKRI.
Itulah, antara lain, beberapa alasan utama yang dikemukakan oleh publik atas dukungan mereka kepada pemerintah yang telah melibatkan TNI dalam upaya pemberantasan terorisme. Masih banyak alasan-alasan lain yang tidak mungkin ditulis semua di sini. Tory Suryo, misalnya, mengatakan, "[Pengaktifan kembali Koopsusgab TNI] efektif untuk tindakan pre-emptif dan menimbulkan efek deteren terhadap kelompok terorisme terkait kepentingan ideologi transnational dan inflitrasi geopolitik.”
Ada juga yang berpendapat lebih jauh, yakni bukan hanya memberantas komplotan teroris (pelaku terorisme) dan membekukan ormas teroris saja tetapi juga menindak orang-orang tertentu (seperti para ustad radikal, penceramah militan-intoleran, atau para dosen dan guru anti-Pancasila dan pro-khilafah), kelompok sosial-agama, dan institusi yang dianggap memberi "angin segar” dan menginspirasi tindakan terorisme.
Sementara itu, bagi kelompok yang tidak setuju dengan kebijakan di atas berpendapat bahwa ideologi terorisme tidak bisa dilawan dengan senapan dan kekerasan senjata. Mereka juga berargumen kalau keterlibatan TNI bisa membahayakan dan berpotensi untuk disalahgunakan menindak orang-orang dan kelompok tertentu. Kelompok yang tidak setuju ini khawatir, peran tentara akan kembali dominan seperti di zaman Orde Baru yang sering menyasar dan menindak orang-orang dan berbagai kelompok yang dianggap melawan pemerintah.
Pentingnya Batasan dan Pengawasan
Sebetulnya tidak ada masalah untuk melibatkan TNI dalam aksi pemberantasan terorisme asalkan tentu saja tentara patuh terhadap ketentuan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, dimana dalam pasal tujuh disebutkan mengenai keterlibatan TNI dalam penganggulangan terorisme atau operasi militer selain perang (OMSP) harus bersifat sementara dan merupakan upaya terakhir (the last resort).
Dalam UU tersebut juga disebutkan dengan jelas tentang tugas pokok TNI, yaitu "Menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.”
Dalam bingkai UU ini, maka sebetulnya pemberantasan terorisme juga menjadi bagian dari tugas TNI karena kaum teroris jelas-jelas telah mengancam keamanan masyarakat dan keutuhan bangsa dan negara. Baik teroris lokal maupun transnasional merupakan ancaman nyata bagi stabilitas dan keamanan bangsa serta keutuhan NKRI. Bahkan bukan hanya komplotan teroris, berbagai kelompok militan-radikal lain yang anti-Pancasila dan UUD 1945 sejatinya juga merupakan ancaman fundamental bagi bangunan kebangsaan, ideologi dan kedaulatan negara, serta keutuhan masyarakat sehingga menjadi tugas TNI untuk ikut menciptakan rasa aman segenap warga negara dalam teritori Indonesia.
Dengan demikian, tanpa adanya UU Antiterorisme (UU No. 15 Tahun 2003) pun yang revisiannya masih mangkrak di parlemen dan tak kunjung diselesaikan sampai sekarang, TNI sudah memiliki payung hukum, yakni UU No. 4 Tahun 2004 tadi. Hanya saja tentu saja, TNI akan lebih kuat dan leluasa menangani terorisme jika revisi UU Antiteror itu sudah disahkan oleh parlemen.
Pertumbuhan berbagai kelompok militan-radikal (bukan hanya teroris saja) yang berpotensi apalagi yang nyata-nyata mengancam keamanan masyarakat, ideologi Pancasila, kedaulatan negara, dan kesatuan NKRI memang harus disikapi dan ditindak dengan tegas oleh TNI dan Polri. Sebab jika tidak dan terlambat mengantisipasi, mereka akan terus menebar teror, membunuh orang-orang tak berdosa, menghancurkan properti publik, mencuci otak orang-orang lugu dan fanatik, mengganggu kenyamanan warga, mengancam masyarakat, serta melenyapkan fondasi kebangsaan dan kenegaraan yang sudah dengan susah payah dibangun oleh para bapak bangsa dan pendiri Republik Indonesia tercinta.
Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/vlz)
Sumanto Al Qurtuby adalah anggota dewan pendiri Nusantara Kita Foundation dan Presiden Nusantara Institute. Ia juga Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia telah menulis lebih dari 20 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.