1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kenapa Dunia Kesulitan Batasi Produksi Plastik?

28 November 2024

Putaran terakhir negosiasi perjanjian plastik sedunia membidik pengurangan produksi plastik sebagai strategi penanggulangan polusi. Namun, sikap keras negara minyak dan gas merintangi tercapainya kesepakatan ambisius.

https://p.dw.com/p/4nVnR
plastik
Butir plastik murniFoto: XXLPhoto/Zoonar/picture alliance

Setelah dua tahun berunding, negara-negara dunia berunding di putaran akhir demi merampungkan perjanjian global yang mengikat guna membatasi lonjakan plastik yang mencemari planet.

Perwakilan dari sekitar 175 negara mencoba mengatasi perbedaan mencolok tentang cara mengatasi banjir sampah dalam putaran terakhir perundingan minggu ini di Busan, Korea Selatan.

Program Lingkungan PBB, UNEP, mengatakan perjanjian tersebut akan menjadi kesepakatan lingkungan multilateral paling signifikan sejak perjanjian iklim Paris 2015 mengingat skala penuh krisis plastik.

"Perjanjian ini adalah polis asuransi untuk generasi mendatang, sehingga mereka dapat menggunakan plastik tanpa mendapat masalah," kata Inger Andersen, Direktur Eksekutif UNEP, pada tahun 2022 ketika negara-negara pertama kali sepakat untuk membuat perjanjian guna mengakhiri polusi plastik.

Pada tahun 2019, negara di dunia menghasilkan sekitar 350 juta ton sampah plastik. Hanya 9 persen yang didaur ulang, sisanya dibakar, dibuang ke tempat pembuangan akhir, atau berakhir di lingkungan.

Jika dibuang tanpa didaur ulang, produk plastik tahan lama seperti sedotan minum sekali pakai, dapat tetap berada di lingkungan selama ratusan tahun dan mencemari ekosistem dan rantai makanan. Dengan sekitar 99 persen plastik bersumber dari bahan bakar fosil, produksi plastik juga memperburuk krisis iklim, kata para ilmuwan.

Uni Eropa Larang Mikroplastik dalam Produk Konsumen

Mengurangi produksi plastik sebagai tantangan utama

Sebagai bagian agenda negosiasi berpusar pada pengurangan produksi polimer plastik secara global hingga 40 persen pada tahun 2040. Proposal ini diajukan oleh Rwanda dan Peru selama putaran terakhir pembicaraan di Ottawa, Kanada, pada bulan April lalu.

Target ini dapat dijangkau melalui berbagai langkah mitigasi yang digunakan di sepanjang siklus hidup plastik. Langkah yang diusulkan antara lain berupa pengurangan produksi plastik; penghapusan plastik sekali pakai, dan desain ulang kemasan agar dapat digunakan kembali, terurai secara hayati, atau dapat didaur ulang sepenuhnya.

Selama ini, solusi sampah plastik yang selalu digaungkan oleh dunia usaha adalah daur ulang, bukan pengurangan jumlah plastik. Teknologi teranyar yang saat ini mulai dipasarkan adalah daur ulang kimia yang lebih efisien dibandingkan daur ulang mekanis.

Solusi tersebut bukan tanpa cela, karena tidak menghambat produksi plastik, yang notabene lebih murah ketimbang daur ulang. Sebab itu, kelompok lingkungan Greenpeace menyerukan agar perjanjian difokuskan pada pengurangan produksi plastik secara cepat.

Diprediksi, pada tahun 2050 dunia akan memproduksi tiga kali lipat jumlah plastik yang dibuat saat ini.

Perkaranya, plastik murni terbuat dari minyak dan merupakan salah satu sumber duit terbesar bagi industri bahan bakar fosil. Dan dengan derasnya laju transisi menuju energi terbarukan, plastik kian dipandang krusial untuk menutupi kehilangan pendapatan dari minyak dan gas. Daur ulang tidak dapat mengimbangi ledakan produksi.

"Kapasitas pengelolaan limbah kewalahan, kita memiliki kelebihan pasokan dan plastik yang melimpah," kata Christina Dixon, Pemimpin Kampanye Kelautan di Badan Investigasi Lingkungan EIA yang berbasis di New York yang mempromosikan perjanjian tersebut.

Mengurai Plastik dengan Ensim Khusus

Oposisi negara minyak terhadap pembatasan produksi plastik

Dipimpin oleh Rwanda dan Norwegia, lebih dari 60 negara telah bergabung dengan Koalisi Ambisi Tinggi yang ingin mengakhiri semua produksi plastik pada tahun 2040.

Namun menurut Christina Dixon dari EIA, beberapa negara telah bersikap "sangat sulit" selama empat putaran negosiasi dan "tidak ingin melihat kesepakatan apa pun."

Negara penghasil minyak, seperti Rusia, Iran, Arab Saudi dan Azerbaijan, mendesakkan fokus pada peningkatan daur ulang, bukan pada pengurangan produksi plastik. Negara-negara ini berkepentingan melestarikan pasar bahan bakar fosil masa depan yang vital.

Daniela Duran Gonzalez, juru kampanye hukum senior di Pusat Hukum Lingkungan Internasional di Washington DC, mengatakan selama putaran terakhir negosiasi, pembicaraan tidak lagi mengagendakan "limbah plastik" tetapi "masa depan bahan bakar fosil."

Dua wajah Amerika

Amerika Serikat, raksasa plastik, minyak, dan gas, mengubah sikap setelah negosiasi terakhir dan sekarang mendukung target pengurangan plastik. Padahal, Washington selama ini bersikeras pada daur ulang dan penggunaan kembali plastik yang lebih baik, serta kepatuhan sukarela daripada batasan produksi yang mengikat.

Sikap itu dapat berubah lagi dengan pemerintahan Donald Trump yang akan datang. Dia telah lama berjanji untuk mencabut kebijakan iklim dan memperluas produksi bahan bakar fosil.

"Mengingat apa yang terjadi di bawah pemerintahan Trump sebelumnya, saya pikir sangat tidak mungkin Trump akan meratifikasi perjanjian itu," kata Dixon.

Namun, negara-negara di belahan bumi selatan, bersama dengan negara-negara anggota UE, menjaga impian perjanjian plastik tetap hidup.

Griffins Ochieng, koordinator program di Pusat Keadilan Lingkungan dan Pembangunan yang berbasis di Kenya, mengatakan pada pengarahan yang diadakan sebelum negosiasi perjanjian terakhir bahwa negara-negara Afrika menuntut "diakhirinya polusi plastik di seluruh siklus hidupnya."

Pengurangan produksi plastik akan menjadi kunci, bersama dengan "penghapusan" bahan kimia berbahaya, katanya.

Meskipun ada kemungkinan teks perjanjian tidak disetujui di Busan, Nixon menegaskan bahwa proses negosiasi tetap mencerminkan "hasrat global yang besar untuk perjanjian yang mengikat."

Diadaptasi dari artikel DW bahasa Inggris