1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanIndonesia

Makin Banyak Warga Meninggal Karena Bakteri Kebal Antibiotik

29 November 2024

Pemicu utama resistensi antimikroba di Indonesia berkaitan dengan penggunaan antibiotik yang tidak tepat.

https://p.dw.com/p/4nYT7
Foto ilustrasi obat-obatan dan antibiotika
Foto ilustrasi obat-obatan dan antibiotikaFoto: Sabine Kinkartz/DW

Resistensi antimikroba menjadi ancaman serius lantaran bisa memicu pengobatan infeksi bakteri tidak lagi mempan saat diberikan antibiotik. dr Robert Sinto dari Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) mengungkap berdasarkan proyeksi dua tahun lalu, tercatat lebih dari 150 ribu kematian akibat resistensi antimikroba di Indonesia.

"Yang artinya, setiap 4 menit ada satu orang meninggal karena antimikroba," terangnya dalam diskusi awam, Jumat (29/11/2024).

Estimasi kematian akibat resistensi antimikroba terus meningkat hingga 1 juta jiwa setiap tahun di Tanah Air. Sejalan dengan temuan apotek yang memberikan antibiotik sesuai indikasi dengan resep dokter, juga hanya berkisar 20 persen.

"Semakin ke sini, semakin banyak kuman yang kebal dengan antibiotik yang kita miliki. Sementara penciptaan antibiotik baru itu hitungannya sangat-sangat lambat, bayangkan satu waktu di kemudian hari anak cucu kita bisa terkena kuman atau infeksi sederhana, tetapi kejadiannya sama seperti dulu, kita belum punya antibiotik," lanjut dia.

dr Sinto mencontohkan, dalam beberapa kasus kanker dan stroke, kemungkinan pemicu kematiannya berkaitan dengan infeksi bakteri yang tidak mempan diberikan antibiotik. Artinya, tidak semata-mata tunggal karena penyakit yang diidap.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Apa Pemicunya?

Pemicu utama resistensi antimikroba berkaitan dengan penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Terbagi dalam tiga faktor. Pertama, banyak pasien kerap meminta resep antibiotik kepada dokter dengan dalih masa pemulihan lebih cepat

"Pasien sering merasa tidak sembuh ketika tidak diberikan antibiotik, maka secara halus meminta antibiotik supaya rasa nyaman tercapai, jadi intinya tidak ada indikasi, tetapi diberikan antibiotik," tuturnya.

"Kedua, sudah ada indikasi, tetapi antibiotiknya tidak dihabiskan sesuai anjuran," lanjut dia.

Tidak hanya hubungan pasien dengan dokter, penanganan risiko 'pandemi tersembunyi' resistensi antimikroba ini perlu dinaungi oleh kementerian dan lembaga lain, mengingat pemicunya juga berkaitan dengan penggunaan antibiotik dalam campuran pakan ternak agar lebih awet.

"Jadi tidak heran bukan hanya Kemenkes, tetapi Kemenko PMK juga perlu," tandas dia.

Limbah antibiotik

Belum lagi, kebiasaan membuang limbah antibiotik sembarangan yang membuat mikroba-mikroba di lingkungan menjadi semakin 'kebal'.

Mengutip temuan para ilmuwan, dokter spesialis anak Arifianto menekankan akan ada suatu masa dunia termasuk Indonesia memasuki 'post antibiotic era'.

"Para ilmuwan sudah memprediksi akan ada suatu masa yang disebut sebagai post antibiotic era, zaman ketika tidak ada satupun antibiotik yang mempan, mungkin kita tak merasakannya, tapi anak cucu kita bisa jadi merasakannya," pungkas dia.

Baca artikel Detiknews

Selengkapnya: "Tiap 4 Menit Satu Warga +62 Meninggal karena Bakteri 'Kebal' Antibiotik"