Libya dan Aturan Main Demokrasi
10 Oktober 2012Pemberontakan di Libya sudah lama menyingkirkan rezim Muammar al Gaddafi, tetapi ketenangan belum kunjungan datang ke negara itu. Di timur laut, aparat keamanan mengepung kota Bani Walid. Di daerah itu, baru-baru ini terjadi pertempuran antara pendukung mantan diktator yang dibenci rakyat dan milisi saingannya.
Lebih ke barat lagi, di Benghazi, setelah serangan mematikan terhadap Duta Besar AS, Chris Stevens pertengahan September lalu, rakyat masih resah. Orang masih terus menunggu, bagaimana reaksi AS terhadap serangan teror tersebut.
Di ibukota Tripoli kekerasan juga berulangkali terjadi. Beberapa hari lalu, bekas pemberontak untuk waktu singkat berhasil menduduki Kongres Nasional. Mereka merasa tidak terwakili dalam daftar anggota kabinet yang diajukan PM Mustafa Abu Shagur, dan menuntut perubahan. Karena Kongres Libya juga tidak bersedia menyetujui daftar menteri yang diajukan Shagur, ia merasa dipaksa mengundurkan diri.
Kemenangan Pemilu Yang Dibeli Mahal
Situasi yang menyebabkan pengunduran diri Shagur menunjukkan, bagaimana besarnya masalah yang dihadapi Libya dalam jalan menuju demokrasi dan sistem perwakilan rakyat. Juga bagaimana para politisi tidak terlatih untuk membentuk koalisi.
Pengunduran diri Abu Shagur dapat dirujuk pada koalisi partainya dengan Ikhwanul Muslimin, yang penuh masalah. Demikian pendapat pakar politik Libya, Ali Algibeshi. Karena sebenarnya, dalam pemilu Kongres Nasional Libya Juli lalu, saingan Shagur, Mahmud Jibril, kepala pemerintahan transisi yang ketika itu berkuasa, mendapat suara paling banyak, dengan "Aliansi Kekuatan Nasional".
Tetapi Ikhwanul Muslimin berusaha sebaik mungkin untuk mencegah Jibril, yang di masa Gaddafi menjadi pemimpin dewan perencanaan nasional dan pendukung haluan liberal yang moderat, menjadi perdana menteri. Jadi mereka mendukung Mustafa Shagur, yang partainya, "Partai Front Nasional" hanya menduduki tempat ketiga dalam pemilu.
Kemenangan itu dibeli dengan mahal. Perdana Menteri dipaksa untuk meminta persetujuan Ikhwanul Muslimin bagi daftar menteri yang diajukannya. "Abu Shagur tidak setuju dengan tuntutan itu," dijelaskan Algibeshi, dan menambahkan, "Akhirnya itu menyebabkan koalisi tidak bisa berfungsi dengan baik."
Pengertian Negara Yang Tidak Dipahami
Tetapi pengunduran diri Shagur bukan hanya akibat taktik koalisi yang tidak berfungsi. Perdana Menteri yang mengundurkan diri itu juga menghadapi masalah menyangkut pengertian negara. Terutama rakyat di daerah terpencil di tenggara Libya secara tradisional melihat diri sebagai anggota sebuah suku, dan bukan penduduk kesatuan besar nasional yang dikendalikan dari Tripoli. Jati diri sebagai anggota suku atau identitas regionalnya juga ingin mereka lihat terwakili dalam kongres dan dalam pemerintah. Jadi mereka menuntut, politisi-politisi yang mereka anggap wakil, juga duduk dalam kabinet.
Tetapi itu menyebabkan semua pemerintah Libya, bukan saja pemerintah di bawah Abu Shagur yang mengundurkan diri, menghadapi masalah besar. Demikian pendapat Imad al Anis, pakar politik dan pakar Afrika Utara pada Nottingham Trent University. "Terutama di bagian selatan sangat sulit mencari orang, yang mampu mewakili suku dan daerah, dan juga handal pada bidang tertentu. Masalah ini berperan besar di Libya di tahun-tahun sebelumnya."
Dituntut Kemampuan Kompromi
Tetapi para politisi di Tripoli juga menghadapi tuntutan besar, menurut Ali Algibeshi. Salah satu tugas terpentingya, adalah mengalahkan perasaan keterikatan pada suku atau daerah asal secara politis. Atau setidaknya dalam pembentukan pemerintahan tidak terlalu diutamakan. Terutama akibat situasi keamanan yang rentan, dan konflik antar kelompok bersenjata, negara itu perlu pemerintahan yang dapat bertindak.
"Sebagai syaratnya, para politisi harus bisa berkompromi." Karena hanya dengan cara itu, pemerintah dapat mengatasi tantangan yang muncul saat ini. "Ini bukan masalah karir perorangan, melainkan urusan negara. Sayangnya beberapa orang masih belum matang untuk bisa mengambil keputusan politik." Demikian Algibeshi.
Diperlukan Sistem Matang
Satu hal bisa membantu mereka. Pemerintah yang baru akan dibentuk hanya untuk memerintah setahun. Selama itu akan dirumuskan konstitusi baru, dan UU pemilu yang baru akan ditetapkan. Dalam sistem parlemen yang nantinya akan dimatangkan, menurut Imad al Anis, juga akan tercapai sistem saling kontrol.
Jadi Al Anis menilai pengunduran diri Mustafa Shagur sebagai krisis. Tetapi ia juga yakin, bahwa setiap masalah, seperti halnya setiap krisis bisa membaik. Kegagalan Shagur terutama menjadi tanda kuatnya demokrasi di Libya. "Itu menunjukkan, bahwa kekuasaan tidak hanya berada di tangan satu kelompok. Kekuatan berdasar pada konsensus dan keputusan Kongres. Tentu saja lebih baik, jika perdana menteri didukung Kongres. Tetapi kalau itu tidak terjadi, bukanlah sesuatu yang aneh dalam demokrasi."
Jika dilihat dari sudut pandang ini, pengundurandiri Shagur bisa menjadi pelajaran bagi banyak politisi di negara itu. Itu menunjukkan sesuatu yang sudah lama dipahami pemerintahan koalisi di negara-negara barat. Mereka yang berkuasa tidak dengan dukungan mayoritas, secara politis hidup dalam bahaya.