Letusan Gunung Berapi Cegah Pemanasan Global
12 Desember 2014
Bahwa debu vulkanik yang terperangkap di atmosfer Bumi bisa mempengaruhi iklim sudah bukan rahasia lagi. Tapi kini ilmuwan menemukan, letusan kecil gunung berapi memiliki konsekuensi besar terhadap susunan partikel di atmosfer dan dengan begitu perubahan iklim.
Pendeknya, letusan gunung api kecil bisa memperlambat pemanasan global dengan menyebarkan partikel aerosol sulfur yang menghalangi sinar matahari dan menurunkan temperatur Bumi.
"Dengan memantulkan energi matahari kembali ke luar angkasa, partikel asam sulfur dari letusan-letusan kecil gunung berapi boleh jadi bertanggungjawab atas menurunnya temperatur global sebanyak 0.05 hingga 0.12 drajat Celcius sejak tahun 2000," tulis ilmuwan dalam jurnal ilmiah.
Beragam Teori Iklim
"Data baru ini bisa menjelaskan kenapa kenaikan temperatur global melambat selama 15 tahun terakhir."
Sebagai catatan, tahun terpanas dalam catatan sejarah terjadi pada 1998. Kendati suhu pada beberapa tahun terakhir lebih panas dari suhu rata-rata di abad ke 20, kenaikan drastis suhu bumi pada dekade 1990-an mulai memasuki fase stabil.
Beragam teori bermunculan buat menjelaskan kenapa Bumi mengalami stagnasi kenaikan suhu global, termasuk juga perihal bagaimana panas matahari disimpan di dalam samudera atau periode melemahnya aktivitas matahari.
Kebanyakan proyeksi iklim tidak memperhatikan faktor ledakan gunung berapi karena sifatnya yang sulit ditebak. Namun beberapa letusan masuk dalam skema iklim karena dimensinya yang terlalu besar buat dilewatkan
Letusan gunung Pinatubo di Filipina tahun 1991 silam misalnya menghamburkan sebanyak 20 juta ton asam sulfur ke atmosfer Bumi dan diyakini berdampak pada iklim global.
Partikel yang Hilang
David Ridley, peneliti atmosfer di Massachusetts Institute of Technology mengakui dunia sains sedang mencari kepingan terakhir untuk menguak teka teki iklim. Ridley kemudian menemukan kepingan tersebut di antara stratosfer dan troposfer, lapisan terakhir atmosfer yang juga dikenal sebagai dapur cuaca.
Kedua lapisan bertemu di ketinggian 10 hingga 15 kilometer dari permukaan Bumi dan berada di luar jangkauan sebagian besar satelit.
"Satelit telah bekerja baik memonitoring partikel di atas ketinggian 15 kilometer, tapi ini cuma berlaku buat daerah tropis," kata Ridley. "Tapi mendekat ke kutub kita kehilangan semakin banyak partikel di lapisan bawah stratosfer yang mencapai ketinggian 10 kilometer."
Penelitian yang menggabungkan observasi udara, darat dan luar angkasa itu menemukan, jumlah parikel aerosol di lapisan bawah stratosfer lebih besar dari yang diduga selama ini. Pakar menilai, model iklim di masa depan harus memperhatikan pengaruh partikel aerosol dengan lebih seksama.
rzn/hp