Launching Buku Laporan Akhir IPT 1965 di Leiden, Belanda
29 Juni 2017November 2015 tribunal rakyat International People's Tribunal 1965 (IPT1965) digelar di Den Haag. Majelis hakim ketika itu menyimpulkan, negara Indonesia telah gagal mencegah kejahatan atas kemanusiaan dan perbuatan tidak manusiawi, khususnya yang dilakukan oleh pihak militer melalui rantai komando.
Sejak itu, tema-tema genosida 1965 dan pelanggaran HAM setelah masa itu yang terjadi di Indonesia makin mengemuka ke publik dan media massa. Temuan-temuan dan rekomendasi IPT 1965 yang diberitakan media interansional oleh kalangan pemerintah tadinya hanya dianggap "isu kecil" atau bahkan ada yang menyebutnya sebagai "lelucon".
Pemerintah Indonesia yang berusaha mencegah meluasnya cerita-cerita pembantaian massal 1965 akhirnya tidak bisa mengelak dan terpaksa memutuskan untuk menggelar konferensi sendiri dengan mengundang perwakilan para korban. Tujuan utamanya adalah melakukan rekonsiliasi tanpa penyelidikan kriminal dan tanpa mengungkit-ungkit yang sudah lalu.
Karena tidak senang bahwa para korban 1965 diberi tempat bersuara, beberapa kelompok yang dimotori beberapa mantan jenderal menggelar seminar tandingan, didukung oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Apa yang disebut sebagai upaya "mempertahankan Pancasila dan mencegah PKI baru" itu kemudian diikuti dengan gelombang aksi intimidasi dan represi terhadap apa pun dan siapa pun yang dianggap "komunis".
Untuk menyiarkan fakta-fakta sebenarnya tentang sejarah kelam Indonesia kepada masyarakat, khususnya generasi muda, Yayasan IPT 1965 menerbitkan buku dwi bahasa (Inggris-Indonesia) "Laporan Akhir IPT 1965".
"Pada generasi muda harapan kami.." kata Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana dalam acara launching hari Selasa, 27 Juni 2017 di Leiden, Belanda. "Agar sejarah kelam yang digelapkan selama lebih 50 tahun ini diketahui dan menjadi pelajaran berharga mencegah keberulangan dan membangun peradaban".
Buku ini memuat sembilan butir tuntutan Jaksa Penuntut di IPT 1965 atas kejahatan kemanusiaan yang telah terjadi: pembunuhan, perbudakan, pemenjaraan, penyiksaan, kekerasan seksual, penganiayaan, penghilangan secara paksa, propaganda kebencian dan keterlibatan negara-negara asing. Diikuti dengan temuan-temuan dan rekomendasi panel hakim yang dilengkapi dengan dokumen-dokumen kunci.
Nursyahbani Katjasungkana juga mengingatkan kembali tentang hak-hak korban sebagaimana ditetapkan oleh Majelis Umum PBB tahun 2004, yaitu hak atas kebenaran, keadilan, hak atas reparasi serta mencegah keberulangan.
Selain Laporan Akhir IPT 1965, dalam acara di Leiden juga diperkenalkan buku "Dari Beranda Tribunal, Bunga Rampai Kisah Relawan". Diterbitkan oleh Penerbit Ultimus di Bandung, buku ini menghimpun kisah suka duka para relawan, kesan-kesan para hakim dan jaksa, pengalaman para aktivis dan kesaksian para korban.
Acara launching buku di Leiden yang dimulai jam 7 malam itu ditandai dengan pemutaran Film "Road to Justice" dari Lexy Rambadetta, yang menceritakan kembali latar belakang perjalanan isu 1965 sampai penyelenggaraan tribunal rakyat di Den Haag 50 tahun kemudian. Di bagian runagan lain ada pameran poster oleh Andreas Iswinarto dan Koes Komo. Acara berakhir sekitar jam sepuluh malam, setelah minum kopi diiringi suguhan musik oleh kelompok seniman dan aktivis "Project1965" dari Amsterdam.