Larangan Diskriminasi Warna Kulit
1 November 2012Desember 2010, seorang mahasiswa jurusan arsitektur berkulit hitam yang memiliki paspor Jerman diperiksa oleh dua polisi saat berada dalam kereta. Polisi ingin melihat kartu identitas sang mahasiswa. Namun, ia merasa didiskriminasi dan menolak. Mahasiswa bersangkutan kemudian melaporkan insiden tersebut dan menuntut pihak kepolisian dengan tuduhan melakukan penghinaan.
Dalam proses hukum yang panjang, melalui berbagai instansi, salah seorang petugas polisi yang terlibat mengaku secara terbuka, ia memeriksa mahasiwa itu karena warna kulitnya dan itu adalah praktik yang biasa dilakukan. Atas pernyataan tersebut, mahasiswa itu mengajukan kepolisian Jerman ke pengadilan dengan tuduhan melakukan diskriminasi.
Instansi berbeda - keputusan berbeda
Pengadilan tata usaha di Koblenz bulan Maret lalu masih memutuskan, bahwa pemeriksaan tersebut tidak melanggar peraturan. Alasannya, untuk mencegah masuknya pendatang ilegal ke Jerman, polisi boleh memeriksa secara acak berdasarkan penampilan seseorang. Kini keputusan tersebut digugurkan oleh pengadilan tata usaha tertinggi Jerman. Argumen mahasiswa asal Kassel dinyatakan benar adanya.
Warna kulit tidak boleh menjadi kriteria atas pemeriksaan tanda pengenal. Demikian menurut hakim. Ini melanggar pasal 3 undang-undang dasar Jerman: "Tidak ada yang boleh dirugikan atau diuntungkan karena jenis kelamin, keturunan, ras, bahasa, asal-usul, kepercayaan, agama atau pandangan politiknya."
Serikat polisi berbeda - penilaian berbeda
Keputusan tersebut memicu perdebatan di kepolisian. "Pengadilan tidak memutuskan berdasarkan pelaksanaan tugas sehari-hari", kritik pimpinan serikat kepolisian Jerman Rainer Wendt. Pekerjaan polisi dipersulit oleh putusan pengadilan.
Serikat polisi lainnya, GDP, memiliki pandangan yang berbeda. Perwakilannya Josef Scheuring mengatakan kepada DW, ia terganggu dengan pernyataan Wendt. "Ini tidak mewakili mayoritas polisi Jerman dan memberikan kesan yang tidak adil bagi polisi Jerman."
Tentu keputusan pengadilan harus diterima. Pekerjaan polisi tidak terhambat sama sekali karenanya. Lagipula, polisi Jerman hanya boleh memeriksa individu "bergantung dari situasi", dari "situasi" ini tidak jelas dalam kasus mahasiswa Kassel tersebut. "Tidak ada orang di Jerman yang boleh diperiksa polisi hanya karena warna kulitnya", tegas Josef Scheuring.
Organisasi HAM sambut keputusan
Amnesty International lega bahwa mahkamah tata usaha tinggi menggugurkan keputusan instansi hukum yang pertama. "Kami menyambut keputusan itu sebagai sinyal penting bagi upaya perlawanan terhadap diskriminasi pemeriksaan", kata Alexander Bosch, pakar masalah polisi dan HAM kepada DW. Dalam beberapa tahun terkahir, semakin banyak warga keturunan migran yang mengadukan masalah serupa kepada Amnesty International.
Tahir Della lahir dan besar di München. Ia aktif di organisasi bagi warga kulit hitam Jerman "Initiative Schwarze Menschen in Deutschland". Menurut Della, "Pemeriksaan terhadap warga berkulit hitam bukan hal baru".
Banyak warga Jerman berkulit hitam punya pengalaman yang sama dengan mahasiswa Kassel itu. Walau bisa berbicara bahasa Jerman secara lancar, warga kulit hitam otomatis dianggap sebagai orang asing.
Masih banyak warga Jerman menganggap hanya warga berkulit putih lah yang merupakan warga Jerman asli. "Warga berkulit hitam tersisihkan dan tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat", tegas Della.
Ini tidak sesuai dengan tuntutan jaman sekarang yang makin mengglobal. Apalagi dengan Jerman yang situasinya kini makin multi budaya dan muti etnis. Karena itu, organisasi Della menganggap keputusan pengadilan tersebut sebagai "langkah besar ke arah yang benar".