Laporan HRW 2009: Catatan HAM di Indonesia
16 Januari 2009Jatuhnya kekuasaan Soeharto tahun 1998, mengubah Indonesia dari negara yang otoriter menjadi negara terbuka, walaupun proses demokrasinya masih terus mengalami rintangan. Kini, dengan surutnya momentum tersebut, nampak di bebrapa wilayah, proses reformasi mengalami hambatan dan kemunduran.
Selain terhentinya kemajuan dalam proses hukum pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib, upaya untuk mendorong pertanggungjawaban negara atas kejahatan HAM yang belum selesai, masih jalan di tempat. Pelanggaran HAM, seperti misalnya penyiksaan yang dilakukan aparat keamanan, pelakunya masih lolos dari jerat hukum. Demikian pemantauan organisasi HAM internasional, Human Rights Watch dalam laporan tahunannya yang baru diterbitkan. Rusdi Marpaung, dari organisasi HAM Imparsial menambahkan:“apa yang terjadi tahun 2008 ternyata ada persoalan di bidang ekonomi, sosial, politik, misalnya eskalasi kekerasan yang dilakukan tentara, dalam hal ini TNI angkatan laut. Dalam penanganan kasus masa lalu, pemerintah konservatis, misalnya menyelesaikan kasus dengan mengandalkan hal normatif, misalnya KUHAP.“
Di bidang kebebasan berkeyakinan, pemerintah Indonesia di tahun 2008 nampak masih tunduk pada tekanan kelompok-kelompok radikal, seperti misalnya kasus penyerangan terhadap umat Ahmadiyah. Kebebasan pers masih dirusak oleh para pejabat berkuasa dan pengusaha yang menggunakan pasal-pasal pencemaran nama baik untuk membungkam kritik. Pada bulan September 2008, majalah Tempo dituntut oleh perusahaan Asian Agri ketika menginvestigasi masalah pajak. Sementara bulan Juni 2008, seorang Repoter di Jogjakarta dihukum karena artikelnya tentang pelecehan seksual dianggap mencemarkan nama baik seorang pengusaha media.
Di Papua, ketidakpercayaan terhadap pemerintahan di Jakarta menjadi bom waktu, akibat gagalnya penegakan HAM di bumi cendrawasih itu, termasuk penyiksaan yang melibatkan aparat keamanan.
Di luar negeri, belum ada perbaikan yang lebih berarti dalam penanganan buruh migran. Sekitar 2 juta orang, kebanyakan perempuan bekerja sebagai buruh migran atau TKI. Kebanyakan mereka bekerja di Timur Tengah dan Asia. Tidak sedikit diantara mereka mengalami penyiksaan. Di dalam negeri, lebih dari 700 ribu anak menjadi pekerja. Direkrut antara usia 12 hingga 15 tahun, banyak diantaranya hanya berupah rendah, bekerja 7 lari dalam seminggu, lebih dari 14 jam sehari.
Terhambatnya proses hukum pembunuhan Munir, juga menjadi sorotan HRW. Kembali Rusdi Marpaung dari Imparsial: “Pada penghujung tahun 2008 ada keputusan besar, memperlihatkan bahwa negara alih-alih menunjukan keadilan, malah mundur dengan membebaskan Muchdi PR tanpa ada pehatian bahwa ada putusan final pada Polycarpus, bahwa pembunuhan Munir tidak terlepas dari keterlibatan intelejen negara:”
Bagaimana prospek HAM di Indonesia tahun 2009. Rusdi Marpaung menuturkan:“kami menduga dua skenario. Bahwa konservatisme ini akan berlanjut, misalnya paling tidak dua kasus utama Munir dan Lapindo semakin menjauh dari harapan keadilan masarakat. Tapi skenario optimismenya, pemerintah dalam masa terakhir pemerintahannnya akan bekerja keras, menunjukkan bahwa sebelum pemilu berkomitmen pada penegakan HAM dan demokrasi di Indoensia. Kami mendorong pemerintah paling tidak menyelesaikan dua kasus ini dengan sebaik-baiknya.“
Meskipun tidak menutup mata masih banyak kasus pelanggaran HAM lain yang tersisa: diantaranya pembunuhan massal tahun 1965-1966, kekerasan tentara di Timor Timur, Aceh, dan Papua, dan tragedi Trisakti-Semanggi. Sementara untuk kasus pelanggaran Ham di Tmor Timur, yang diselesaikan lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Sekjen PBB Ban Ki Moon telah mendesak adanya pertanggungjawaban, namun pemerintah Indonesia masih belum mengambil.tindakan hukum. (ap)