1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Pendidikan

Imbas PJJ, KPAI Catat Kenaikan Pernikahan Dini-Putus Sekolah

17 Februari 2021

Kebijakan belajar jarak jauh dinilai menjadi salah satu pemicu siswa berhenti sekolah. Akibatnya muncul niat untuk menikah dini atau siswa memilih bekerja membantu ekonomi keluarga karena orang tua kehilangan pekerjaan.

https://p.dw.com/p/3pSjl
Komisioner KPAI bidang Pendidikan Retno Listyarti
Komisioner KPAI bidang Pendidikan Retno ListyartiFoto: ari saputra/detikcom

Sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) masih terus dilakukan sampai saat ini akibat pandemi COVID-19 yang kian meningkat. Berdasarkan hasil pengawasan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat adanya kenaikan angka anak putus sekolah dan pernikahan dini imbas PJJ tersebut.

"Hasil pengawasan KPAI menunjukkan bahwa pandemi berpotensi kuat meningkatnya angka putus sekolah dan pernikahan anak," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (17/2/2021).

Retno mengatakan, KPAI kerap mendapat pengaduan orangtua yang sulit membayar sekolah terutama sekolah swasta baik jenjang PAUD hingga SMA/SMA. Pengaduan mulai dari meminta pengurangan SPP karena adanya kebijakan PJJ dan masalah tunggakan SPP, mulai dari tunggakan 3 bulan sampai 10 bulan.

Adapun pengaduan itu berasal dari 8 Provinsi yaitu DKI Jakarta (Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Selatan); Jawa Barat (Bekasi, Kabupaten Bogor, Kota Bandung, dan Kabupaten Cirebon); Jawa Tengah (Kota Surakarta dan Kabupaten Temanggung); Banten (Kota Tangerang dan Kota Tangsel); Lampung (Bandar Bandung); Sumatera Utara (Kota Medan); Sulawesi Selatan (Kota Makassar); Bali (Kota Denpasar); dan Provinsi Riau (Kota Pekanbaru).

Pengaduan terbesar berasal dari DKI Jakarta (45,2%); Jawa Barat (22,58%); Banten (9,67%); Jawa Tengah (6,45%); Lampung (3,22%); Sumatera Utara (3,22%), Sulawesi Selatan (3,22%); Riau (3,22%); dan Bali (3,22%). Sebagian besar kasus diselesaikan melalui mediasi yang dihadiri para pihak (pengadu dan teradu) didampingi oleh Dinas Pendidikan setempat.

"Meskipun DKI Jakarta masuk pengaduan terbanyak, namun Dinas Pendidikan DKI Jakarta sangat kooperatif dalam upaya menyelesaikan dan memiliki program Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan KJP Plus bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, sehingga memudahkan penyelesaian," ujar Retno.

Putus sekolah, menikah dini dan bekerja 

Karena itu lah kata Retno, kebijakan PJJ menjadi salah satu pemicu peserta didik berhenti sekolah. Akibatnya muncul niatan untuk menikah dini atau siswa memilih bekerja membantu ekonomi keluarga karena orang tua kehilangan pekerjaan.

"Dari temuan KPAI, ada 119 peserta didik yang menikah, laki-laki maupun perempuan, yang usianya berkisar 15-18 tahun", ujar Retno.

Dari data diperoleh jenis pekerjaan para siswa umumnya pekerjaan informal seperti tukang parkir, kerja di tempat pencucian motor, bekerja di bengkel motor, di percetakan, berjualan bensin di rumah, asisten rumah tangga (ART) dan ada juga yang membantu usaha orang tuanya karena sudah tidak mampu lagi membayar karyawan.

"Bahkan, pada salah satu SMK swasta di Jakarta yang mayoritas siswanya memang dari keluarga tidak mampu, rata-rata per kelas ada 4 siswa bekerja," ungkap Retno.

Selain itu, KPAI juga mengungkap potensi peserta didik tidak naik kelas. Dua minggu lalu KPAI melakukan rapat dari dengan Kepala Dinas Pendidikan Kota Cimahi terkait munculnya pemberitaan ribuan anak di kota Cimahi terancam tidak naik kelas.

"Awalnya pada 18 Desember 2020, jumlah siswa jenjang SD yang rapor hasil belajarnya yang belum diambil mencapai 722 siswa, dari total 21.943 siswa SD di kota Cimahi. Namun pada (14/1) jumlahnya berubah menjadi 522 siswa, dan pada (30/1) jumlahnya tersisa 71 siswa," ujarnya.

"Sedangkan untuk siswa jenjang SMP pada 18 Desember 2020, jumlah rapor yang belum diambil mencapai 2.313 siswa dari total 21.534 siswa SMP di Kota Cimahi. Namun pada (14/1) jumlahnya turun menjadi 1.539 siswa, bahkan pada (30/1) jumlahnya tersisa hanya 91 siswa," lanjut Retno.

Apa rekomendasi KPAI?

Untuk itu KPAI menyampaikan beberapa rekomendasi, di antaranya:

1.KPAI mengapresiasi Kemdikbud RI yang sudah merevisi standar isi menjadi Kurikulum khusus dalam situasi darurat dan pada tahun 2021 ini juga melakukan revisi terhadap standar penilaian melalui Surat edaran (SE) Mendikbud No 1 Tahun 2021 tentang Peniadaan Ujian Nasional dan Ujian Kesetaraan serta pelaksanaan Ujian Sekolah dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) ini ditandatangani Mendikbud Nadiem pada tanggal 1 Februari 2021. SE ini seharusnya menjadi rambu-rambu penilaian di masa pandemi bagi kelulusan maupun kenaikan kelas peserta didik pada seluruh sekolah di Indonesia;

2.KPAI mendorong Kemdikbud dan Dinas Pendidikan melakukan pemetaan dan membuat program pembagian alat daring untuk PJJ, sehingga anak-anak yang tidak memiliki alat daring bisa dipinjamkan melalui sekolah dan diberikan bantuan kuota internet. Bagi daerah yang blank spot diberikan bantuan penguat sinyal sehingga PJJ dapat berlangsung, anak-anak tetap memiliki keteraturan dalam pembelajaran;

3.KPAI mendorong Dinas-dinas Pendidikan di daerah memetakan bersama sekolah terkait anak-anak yang berpotensi putus sekolah karena tidak memiliki biaya pendidikan, mereka harus dibantu, baik yang di sekolah negeri maupun sekolah swasta agar hak atas pendidikan tetap dapat dipenuhi oleh pemerintah/Negara dalam keadaan apapun sebagaimana amanat pasal 31 Konstitusi RI.

4.KPAI mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan Dinas-dinas PPPA di berbagai daerah untuk mengkampanyekan bahayanya perkawinan anak dan mencegah terjadinya perkawinan anak karena putus sekolah di masa pandemic Covid-19. (Ed: gtp/pkp)

Baca artikel selengkapnya di: DetikNews

KPAI Catat Kenaikan Angka Pernikahan Dini-Putus Sekolah Imbas PJJ