Kota Terapung Menjawab Perubahan Iklim
Kota di permukaan samudera bisa menyelamatkan jutaan penduduk di negara kepulauan yang terancam perubahan iklim. Tapi berbeda dengan yang lain, konsep milik Institut Seasteading ini bisa direalisasikan dalam waktu dekat.
Bertaruh Nasib
Maladewa, Kepulauan Marshall atau bahkan Indonesia pun ikut terancam oleh kenaikan permukaan air laut sebagai dampak perubahan iklim. Selama ini pemerintah di negara kepualauan terkecil cuma memiliki satu solusi, yakni menyewa atau membeli tanah di negeri orang untuk mengungsi. Namun kini konsep kota terapung milik Institut Seasteading bisa menjadi solusi paling berkelanjutan.
Solusi di Samudera
Belum lama ini pemerintah Polynesia Perancis sepakat menggandeng rumah desain Institut Seasteading buat membangun kota terapung di permukaan samudera Pasifik, di lepas pantai Tahiti. Kota tersebut rencananya akan mulai dibangun tahun 2019. Menurut studi teranyar, dua pertiga wilayah Polynesia Perancis akan tenggelam pada akhir abad dengan laju kenaikan permukaan laut seperti saat ini.
Delapan Perintah Moral
Institut Seasteading yang didirikan oleh pemilik Paypal Peter Thiel itu memerlukan waktu lima tahun untuk mendesain "komunitas permanen dan inovativ yang mengapung di permukaan laut." Tidak tanggung-tanggung, institut tersebut mengklaim desainnya dibuat dengan merujuk pada delapan perintah moral, antara lain menyembuhkan orang sakit, menyejahterakan kaum miskin dan membersihkan atmosfer Bumi.
Surga Mengambang
Proyek pertama akan dibangun di atas 11 panggung mengambang berbentuk persegi yang susunannya bisa diatur sesuai kebutuhan penduduk kota layaknya kepingan puzzle. Untuk tahap pertama pemerintah Polynesia Perancis berencana membangun kota untuk menampung antara 250 hingga 300 orang. Kota ini nantinya akan sepenuhnya menggunakan energi terbarukan dan dikelola dengan konsep ramah lingkungan.
Tembok Air
Panggung mengambang tersebut rencananya akan dibangun dari beton bertulang dan bisa menampung gedung bertingkat tiga seperti hotel, apartemen atau pusat perbelanjaan dan memiliki usia pakai hingga 100 tahun. Setiap panggung akan dibuat sepanjang 50 metern dengan tinggi lima meter. Kota ajaib ini juga akan dilindungi oleh tembok laut setinggi 50 meter.
Mandiri dan Berkelanjutan
Setiap panggung bisa dipindahkan ke lokasi lain dengan menggunakan kapal penyeret dan dikaitkan dengan panggung lain buat membentuk formasi yang diinginkan. Kebutuhan air akan ditutupi dengan menyaring air laut dan sayuran atau buah bisa ditanam di rumah kaca dengan sistem akuaponik. Sementara sampah diangkut ke lokasi pengolahan yang dibangun di daratan.
Terjangkau dan Realistis
Bahwa kota terapung di Haiti terjangkau secara ekonomi terlihat dari ongkos pembangunan tahap pertama yang ditaksir senilai 167 juta Dollar AS atau sekitar 2,2 triliun Rupiah. Ongkos pembangunan sebuah panggung mencapai 10 juta Dollar AS, tidak berbeda dengan harga tanah di kota metropolitan seperti New York atau London.
Kebebasan Politik
Keunikan terbesar kota terapung adalah kebebasan politik yang dinikmati penduduknya. Lantaran sifatnya yang mandiri dan bisa berpindah tempat, kota ini bisa memilih kota untuk melabuh. "Jika penduduknya tidak suka kebijakan sebuah kota, maka mereka bisa pindah ke kota lain," tulis Institut Seasteading. Keunikan tersebut diyakini akan memaksa pemerintah kota bekerja sesuai keinginan penduduk.
Realita Menyapa
Ada banyak gagasan inovatif lain untuk menghadirkan konsep pemukiman mengambang. Namun sejauh ini ide yang dikembangkan Institut Seasteading adalah yang paling realistis dan terjangkau. Meski begitu konsep kota terapung masih harus mengalami lusinan uji kelayakan untuk menghadapi berbagai bahaya seperti kebakaran, wabah penyakit, Tsunami atau kerusuhan sosial.