Kenapa TikTok Diwaspadai Jelang Pemilu Dini?
15 November 2024Partai-partai politik Jerman kini lebih serius menggarap media sosial menjelang pemilihan umum dini pada Februari mendatang. Geliat tersebut muncul setelah partai radikal kanan, Alternatif untuk Jerman, AfD, merebut 30 persen suara dalam pemilu di dua negara bagian timur dengan menggaet pemilih muda di TikTok.
Matthias Kettemann, pakar regulasi internet dan hukum media di Universitas Innsbruck di Austria, berpendapat bahwa mustahil untuk dengan tepat mengukur dampak media sosial dalam membentuk opini publik dan proses pengambilan keputusan yang demokratis.
Namun, yang jelas adalah semakin banyak orang menggunakan media sosial dan ada kecenderungan umum menuju polarisasi. "Partai-partai di sayap kanan dan sayap kiri cenderung lebih berhasil di media sosial karena mereka memiliki narasi yang lebih mudah untuk diceritakan, yang pada gilirannya mendorong keterlibatan bersama dengan algoritma amplifikasi platform," katanya kepada DW.
Para pengamat juga waspada terhadap pengaruh yang semakin besar dari orang terkaya di dunia dan CEO platform X, Elon Musk, yang bisa dibilang sekutu terbesar Trump dalam kampanyenya untuk menjadi presiden AS.
Setelah ambruknya pemerintahan tiga partai di Jerman pada 6 November lalu, Musk berulang kali menyebut pejabat koalisi kiri-tengah Jerman sebagai "orang-orang dungu."
Sementara itu, Wakil Kanselir dan Menteri Ekonomi Robert Habeck dari Partai Hijau secara mengejutkan kembali ke platform X setelah istirahat selama enam tahun. Dia mengatakan bahwa menurutnya tidak tepat untuk menyerahkan X kepada "para pembual dan populis."
Baku mulut minim substansi
"Masalah terpenting adalah disinformasi dari atas," kata Jörg Hassler, pakar komunikasi digital dan politik di Universitas Ludwig Maximilian di München. Menurutnya, para pemimpin politik kini lebih fokus melakukan serangan pribadi terhadap rival politik atau sibuk mendebatkan isu-isu sampingan seperti tanggal pemilihan.
Dalam perdebatan di Bundestag pada hari Rabu (12/11), ketua umum partai konservatif Uni Kristen Demokrat, CDU, Friedrich Merz , mengecam video palsu dirinya yang dibuat dengan teknologi kecerdasan buatan dan ramai dibagikan di media sosial.
"Fakta bahwa video-video itu diunggah dan diteruskan oleh anggota parlemen Partai Sosial Demokrat, SPD. memberikan gambaran tentang jenis kampanye yang jelas-jelas siap Anda jalankan di Jerman," kata Merz.
Matthias Kettemann, pakar hukum digital di Jerman, mengendus adanya kegamangan politik dalam mengentaskan masalah utama di dalam dan luar negeri. "Masalah pentingnya adalah seberapa baik perekonomian berjalan, atau bagaimana menyaring penduduk yang berhak memperoleh bantuan negara dan sebagainya," kata dia. "Tapi tampaknya para politisi tidak tertarik membicarakan hal-hal ini," imbuhnya kepada DW.
Saat ini media sosial telah menjadi bagian penting dari ekosistem media hibrida, tempat informasi berputar antara media sosial dan media tradisional.
"Anda tidak dapat memenangkan pemilihan umum di media sosial, tetapi Anda dapat kalah di sana," kata Hassler. Dia menunjuk contoh mantan ketua umum CDU Armin Laschet yang mencalonkan diri sebagai kandidat kanselir dalam pemilu 2021. Kendati jauh diunggulkan, peluangnya ambruk saat videonya yang tertawa dan bercanda dalam kunjungan di wilayah bencana banjir, ramai beredar di media sosial.
Pada tahun 2022, untuk pertama kalinya lebih banyak warga Jerman mengaku merujuk kepada sumber berita daring daripada di televisi, seperti yang dilaporkan dalam survei tahunan Reuters Institute untuk Studi Jurnalisme. Menurut Studi Media oleh lembaga penyiaran publik Jerman ARD dan ZDF 2024, hanya 7 persen penduduk Jerman yang menggunakan X secara teratur dibandingkan dengan Instagram (37%), Facebook (33%) dan TikTok (18%).
Keterlibatan aktor asing
Faktor penting lainnya dalam pemilihan federal mendatang di Jerman, kata Kettemann, adalah peran aktor asing yang menggunakan operasi disinformasi. Serangan semacam itu biasanya mengandalkan bot farm dan "kampanye gelap" pada aplikasi pengiriman pesan seperti Telegram dan WhatsApp untuk menyebarkan narasi tertentu. Kedua partai populis dari spektrum kiri dan kanan di Jerman, AfD dan Aliansi Sahra Wagenknecht, BSW, misalnya, menggaungkan narasi pro-Rusia, konservatif secara sosial, anti-imigrasi, dan anti-perlindungan iklim.
"Kita tahu misalnya bahwa Rusia lebih menyukai partai politik tertentu di Jerman daripada yang lain. Mereka ingin memperburuk kecenderungan polarisasi dalam masyarakat Jerman dan itu adalah ancaman yang harus kita waspadai menjelang pemilihan Bundestag," kata Hassler kepada DW.
Upaya mengatur platform media sosial
Uni Eropa sejauh ini telah memperkenalkan serangkaian peraturan komprehensif untuk media sosial dan pasar digital dengan Undang-Undang Layanan Digital, DSA. UU tersebut bertujuan untuk mencegah aktivitas ilegal dan berbahaya secara daring, serta penyebaran disinformasi.
Dalam temuan awal yang dikeluarkan pada bulan Juli, regulator Uni Eropa mendapati X melanggar DSA, dengan menyatakan bahwa sistem verifikasi centang biru "menipu pengguna," bahwa platform tersebut tidak mematuhi "transparansi yang diwajibkan terkait periklanan" dan "gagal memberikan akses ke data publiknya kepada peneliti."
Tantangannya sekarang adalah menerapkan undang-undang tersebut, kata Kettemann, dan itu tidak akan terjadi tepat waktu untuk pemilihan federal Jerman pada bulan Februari. "Beberapa platform seperti X tampaknya tidak bekerja sama sama sekali dengan aturan Uni Eropa, jadi akan cukup sulit untuk menyelaraskan platform tersebut dengan nilai-nilai demokrasi dan aturan Uni Eropa," katanya.
Hal ini bisa jadi lebih sulit di masa mendatang karena peran Elon Musk semakin besar dalam pembuatan kebijakan AS, Kettemann khawatir, setelah Wakil Presiden terpilih AS JD Vance minggu ini menyatakan bahwa AS akan menarik dukungan untuk NATO jika UE mencoba mengatur X.
Karena semakin banyak pemilih, terutama pemilih muda, yang mencari informasi tentang politik dan urusan dunia di media sosial, Ketterman mendesak partai-partai tradisional untuk meningkatkan aktivitas mereka di platform media sosial karena mereka tidak boleh menyerahkan bidang tersebut kepada aktor disinformasi lagi. "Kita harus berjuang," katanya.
Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris