1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kenapa Pemimpin Militer Mendominasi Politik Asia Tenggara?

23 November 2024

Hampir separuh negara-negara Asia Tenggara diperintah oleh mantan jenderal atau rezim militer. Tren ini dianggap memprihatinkan bagi demokrasi dan HAM di kawasan tersebut. Kenapa tren militerisasi politik menguat?

https://p.dw.com/p/4nKDU
Prabowo Subianto dan Joko Widodo
Prabowo Subianto dan Joko WidodoFoto: DW/Levie Wardhana

Negeri komunis Vietnam bulan lalu menunjuk Luong Cuong, seorang jenderal militer dan mantan direktur politik Tentara Rakyat Vietnam, sebagai presiden baru.

Tak lama kemudian, Prabowo Subianto, mantan komandan pasukan khusus yang diberhentikan dari militer pada tahun 1998 atas tuduhan pelanggaran militer, dilantik sebagai presiden Indonesia, negara terbesar di Asia Tenggara.

Pemerintahan Prabowo telah digambarkan sebagai "kabinet paling militer" di Indonesia sejak jatuhnya kediktatoran Suharto pada tahun 1998, menurut sebuah laporan oleh New Mandala, situs web urusan Asia Tenggara yang dipublikasikan oleh Australian National University, ANU.

Di tempat lain, sebagian besar wilayah Myanmar telah berada di bawah kendali junta militer sejak kudeta pada tahun 2021.

Pemimpin lama Kamboja Hun Sen menyerahkan kekuasaan tahun lalu kepada putra sulungnya, Hun Manet, seorang mantan panglima militer. Militer Thailand, yang menguasai pemerintahan antara tahun 2014 dan tahun lalu, terus memberikan pengaruh yang signifikan terhadap politik praktis, kendati resminya telah undur diri.

Kepemimpinan sipil melemah

Hanya Brunei, Malaysia, dan Singapura yang secara konsisten mempertahankan kendali sipil atas militer, menurut catatan para analis.

Brunei adalah monarki absolut, sementara partai-partai politik dominan di Malaysia dan Singapura secara historis mengesampingkan campur tangan militer.

Filipina mengalami intervensi militer dalam politik pada tahun 1986 ketika angkatan bersenjata membantu menggulingkan diktator Ferdinand Marcos dalam revolusi rakyat. Namun, sejak saat itu, Angkatan Bersenjata Filipina berada di bawah kendali sipil, dengan presiden sebagai panglima tertingginya.

Namun, kebangkitan kepemimpinan militer di Asia Tenggara mencerminkan tren global yang lebih luas, menurut Joshua Kurlantzick, seorang peneliti senior untuk Asia Tenggara di Council on Foreign Relations.

Thailand: A carmaking powerhouse

"Militer, yang dulunya dianggap telah punah sebagai penguasa, dengan beberapa pengecualian kecil seperti Thailand, telah bangkit kembali dan mengambil alih pemerintahan di berbagai tempat, bahkan di luar Asia Tenggara," kata Kurlantzick kepada DW. Kudeta militer baru-baru ini di wilayah Sahel Afrika dan pengaruh militer baru di Pakistan dan Mesir adalah bagian dari pergeseran global ini.

Militerisasi sejak 2014

Paul Chambers, dosen dan penasihat urusan internasional di Universitas Naresuan Thailand, berpendapat bahwa militerisasi Asia Tenggara telah meningkat pesat sejak 2014, bertepatan dengan menguatnya tren otoritarianisme.

"Munculnya militerisasi mendadak pada tahun 2024 adalah tipuan karena kekuatan militer dalam politik selalu ada, meskipun terkadang dalam bayang-bayang," kata Chambers.

Meningkatnya kekhawatiran keamanan, khususnya di Laut Cina Selatan, mungkin juga telah memperkuat pengaruh militer.

Ketegasan Cina yang semakin meningkat di kawasan tersebut telah meningkatkan ketegangan, memberikan pengaruh yang lebih besar kepada militer atas pembuatan kebijakan di negara-negara seperti Vietnam dan Indonesia.

Namun, Filipina, yang berada di garis depan perselisihan dengan Beijing, justru menolak militerisasi politik.

Lonjakan anggaran militer

Pengeluaran militer di Asia Tenggara meningkat lebih dari dua kali lipat antara tahun 2000 dan 2021, dari USD20,3 miliar menjadi USD43,3 miliar, menurut Stockholm International Peace Research Institute, SIPRI.

Namun, belanja pertahanan tertinggi, jika diukur berdasarkan persentase dari PDB, sebagian besar adalah negara-negara yang militernya tidak memiliki kekuasaan atas politisi sipil, termasuk Singapura, Brunei, dan Malaysia.

Sebaliknya, para pakar menunjuk politik dalam negeri sebagai alasannya. Chambers mengatakan ada "tingkat militerisasi yang berbeda" di kawasan tersebut, terkadang karena "kemampuan jenderal yang masih aktif bertugas atau pensiunan untuk menduduki jabatan-jabatan penting partai."

Di Thailand, sikap monarki yang "selama beberapa dekade mendukung kudeta, membuat Thailand selalu berada di ambang demokratisasi tetapi masih jatuh dalam kekuasaan militer," kata Chambers. Militer Myanmar, sebagai perbandingan, memerintah hampir tanpa gangguan dari tahun 1962 hingga 2015 sebelum merebut kekuasaan lagi pada tahun 2021.

Partai Rakyat Kamboja, CPP, memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap militer. Di tangan partai, tentara telah menjadi "alat kekerasan" bagi dinasti Hun yang dominan, menurut sebuah esai yang diterbitkan Chambers pada tahun 2020.

Adapun Partai Komunis Vietnam semakin terpecah di antara berbagai badan keamanan. Dua pertiga dari 18 anggota Politbironya, badan pembuat keputusan partai yang paling kuat, sekarang berasal dari latar belakang polisi atau militer, Channel News Asia melaporkan baru-baru ini.

New push for Myanmar peace plan at ASEAN summit

Politik uang

Le Hong Hiep, seorang peneliti senior dalam Program Studi Vietnam di ISEAS–Yusof Ishak Institute di Singapura, berpendapat bahwa tren militerisme di Asia Tenggara sebagian disebabkan oleh maraknya bisnis militer.

Tentara Rakyat Vietnam mengelola beberapa perusahaan terbesar negara, termasuk Viettel, perusahaan telekomunikasi nasional, dan Sai Gon New Port, operator terminal peti kemas terbesar.

Laporan bulan Agustus oleh Carnegie Endowment for International Peace, sebuah lembaga pemikir, menyoroti tren global pengaruh militer yang didorong oleh dinamika kekuatan antara angkatan bersenjata, pemimpin negara, dan sektor swasta.

Teori demokrasi konvensional, menurutnya, mengasumsikan bahwa otonomi dan pengaruh sektor swasta yang lebih besar akan menghasilkan demokratisasi. Namun, laporan tersebut menunjukkan bahwa hubungan militer-bisnis sering kali menghambat demokratisasi dan, terkadang, mengakibatkan intervensi militer dalam politik untuk membela kepentingan sektor swasta, terutama ketika sektor tersebut didominasi oleh oligarki yang kuat, seperti yang terjadi di sebagian besar Asia Tenggara.

Prabowo, presiden Indonesia, adalah kakak dari pengusaha Hashim Djojohadikusumo dan sendirinya menguasai berbagai unit usaha.

Sementara militer Myanmar mendominasi sektor ekonomi terpenting di negara tersebut.

"Fakta bahwa militer semakin memegang kekuasaan, dalam hampir setiap kasus, merupakan hal yang negatif bagi demokrasi dan hak asasi manusia," kata Kurlantzick.

"Hal itu sering kali menciptakan situasi di mana militer bersekutu dengan oligarki dan politisi yang ingin merusak pertumbuhan ekonomi dan inovasi," tambahnya.

Satu pengecualian adalah Timor-Leste, negara terkecil dan termuda di kawasan ini, yang telah dipimpin oleh mantan gerilyawan dan pemimpin militer sejak kemerdekaannya pada tahun 2002.

Xanana Gusmao, perdana menteri saat ini, adalah kepala militer pemberontak Falintil yang berjuang melawan kolonialisme Indonesia.

Timor-Leste adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang secara rutin diperingkat sebagai "negara bebas" oleh kelompok nirlaba seperti Freedom House.

Diadaptasi dari naskah DW berbahasa Jerman