Kelas Menengah Vietnam Yang Rapuh
28 Desember 2012"Supermarket, supermarket, supermarket", teriak gembira Mai Chi, bocah berusia empat tahun putri Tuyen dan Lien, sembari berloncatan di atas tempat tidur orangtuanya. Ia baru saja diajak ke sana. Seperti banyak keluarga kelas menengah Vietnam, keluarga Nguyen menghabiskan hari Minggu di supermarket di Hanoi.
"Hari Minggu adalah satu-satunya hari, kami bisa melakukan sesuatu bersama-sama”, jelas Tuyen. "Saya bekerja 50 hari seminggu, dan setiap hari menghabiskan 3 jam untuk perjalanan pulang-pergi ke kantor. Tidak banyak waktu yang tersisa. Di supermarket, anak-anak bisa bermain dan orang tuanya berbelanja."
Kelas Menengah Baru
Pada awalnya toserba atau supermarket di Vietnam hanya terjangkau oleh kalangan kaya. Namun itu berubah setelah program reformasi 1986 yang bermoto "Doi Moi," atau pembaruan. Sistim ekonomi terpimpin yang sentralistis ditanggalkan, diganti dengan sistem yang lebih luwes dan terbuka. Keleluasaan yang muncul mendorong kemajuan. "Dalam proses reformasi itulah lahir kelas menengah yang baru," ungkap Gerhard Will, pakar Vietnam dari lembaga Jerman untuk urusan Keamanan dan Internasional, SWP.
Keluarga Nguyen tergolong generasi pertama yang diuntungkan reformasi ini. Pasangan suami istri itu lahir di akhir 1970-an dan di masa “booming” ekonomi Vietnam berhasil meraih kemakmuran hidup yang bahkan sulit dibayangkan oleh orang tua mereka.
Di pihak lain, generasi tua Vietnam sejak awal skeptis terhadap perkembangan ekonomi di negaranya. Kerap mereka mengingatkan agar lebih baik menabung, menyisihkan uang buat masa-masa susah.
Kemakmuran Yang Terkikis
Krisis ekonomi global 2007 menimbulkan keraguan masa depan di Vietnam. Ekonom Adam Fforde, dari Universitas Victoria di Melbourne, Australia, menilai serius krisis ekonomi Vietnam. Dikatakannya kepada DW, 7% inflasi yang tercatat pada Oktober 2012 menciutkan penghasilan penduduk.
Harga properti jatuh, sehingga banyak penduduk yang membayar kredit yang lebih besar dari nilai rumahnya saat dibeli, misalnya. Selain itu tambahnya, biaya pendidikan dan kesehatan terus melejit.
"Pengeluaran yang sudah membengkak itu tidak sebanding dengan nilai produk yang diterima,” ujar pakar Vietnam Will, sembari menunjuk pada praktek korup dalam bidang kesehatan dan perlunya reformasi sistem pendidikan. Gelar akademis sering diperjualbelikan atau dipinjamkan kepada pengikut partai. “Biaya vaksinasi atau perban saja mahal,” ungkapnya.
Rasa Percaya Diri Yang Rendah
Gejolak ekonomi Vietnam memukul keras kaum kelas menengah baru ini. Kaki yang belum terjejak kokoh itu mulai terseok lagi. Dalam beberapa tahun terakhir ini, keleluasaan yang berhasil diraihnya mulai terkikis habis. “Kaum kelas menengah mengalami cukup banyak pembatasan di tingkat politik dan ekonomi," tutur Will.
Meski begitu, belum terlihat ada protes kuat dalam masyarakat. Menurut Will, "Tidak akan ada oposisi yang muncul dari kelas menengah. Rasa percaya diri kalangan ini masih terlampau rendah, kebanyakan orang terlalu takut kehilangan hasil kerja keras mereka selama ini apabila terjadi perubahan besar-besaran.”
Sementara itu, Tuyen bertopang pada kemampuannya sendiri, "Memprotes pemerintah sama sekali tak berguna. Di pihak lain bertopang pada pemerintah juga tak berguna. Kita harus yakin pada kemampuan sendiri."
Bisa Lebih Buruk Lagi
Sejak bergulirnya krisis ekonomi, pemerintah Vietnam tampak lebih keras menghadapi kritik. "Vonis bersalah yang dijatuhkan kepada kaum bloggers kritis itu merupakan isyarat bagi suara –suara kritis”. Begitu diutarakan Will. Oktober lalu, blogger populer, Dieu Cay dijatuhi hukuman 12 tahun penjara.
Sehari setelah diwawancara DW, Tuyen mengirim pesan sms. Ia tengah di tempat kerja dan putrinya berada di Taman Kanak-kanak. “Keadaan sekarang lebih sulit dari masa sebelum terjadinya krisis. Mungkin masalah Vietnam lebih berat daripada di negara Barat, tapi dibandingkan 20-30 tahun lalu, keadaan kami masih jauh lebih baik.”