Siapkah Eropa Jika Donald Trump Kembali Jadi Presiden AS?
29 Januari 2024Semakin besar kemungkinan Donald Trump akan menjadi calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, semakin keras pula suara-suara yang memperingatkan Eropa untuk bersiap menyambut masa jabatan Trump yang kedua di Gedung Putih.
Dalam sebuah wawancara dengan lembaga penyiaran publik Prancis France 2, Christine Lagarde, Presiden Bank Sentral Eropa, menggambarkan kemungkinan terpilihnya Donald Trump sebagai "ancaman yang jelas" bagi Eropa.
Pada pertengahan Januari, Perdana Menteri Belgia Alexander De Croo mengatakan kepada Parlemen Eropa bahwa "jika tahun 2024 membawa kita kembali 'America First', ini benar-benar lebih daripada sebelumnya 'Eropa benar-benar sendirian.'"
Dalam sebuah makalah yang diterbitkan oleh lembaga think tank Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa ECFR, mantan Perdana Menteri Swedia Carl Bildt meramalkan adanya konsekuensi global secara luas jika Trump terpilih kembali.
"AS akan meninggalkan kebijakan iklim dan memperluas investasi pada bahan bakar fosil. NATO, setidaknya, tidak akan aktif. Akan ada pendekatan yang nyaman kepada pihak Putin dan Orban. Perang dagang akan semakin intensif," tulisnya.
Persiapan skenario Trump 2.0
Sudha David-Wilp, direktur German Marshall Fund di Berlin, sebuah wadah pemikir yang didanai oleh pemerintah AS, pemerintah Jerman, dan Komisi Uni Eropa (UE), mengatakan kepada DW bahwa kekhawatiran utamanya adalah kemampuan militer Eropa.
"Sangat penting bagi Eropa untuk jadi aktor kuat, secara militer, dalam artian konvensional, sehingga mampu menangani masalah keamanan di lingkungan terdekatnya," kata David-Wilp.
Selain itu, katanya, Eropa juga harus "menjadi mitra yang kuat bagi Asia, bagi Eropa, dalam menangkal ancaman eksternal dari kekuatan otoriter, dan menjadi kuat secara ekonomi untuk mempersiapkan potensi tindakan proteksionis saat Trump memegang masa jabatan kedua."
Jürgen Hardt, anggota partai konservatif Uni Demokrat Kristen CDU di Parlemen Federal Jerman, Bundestag, mengatakan khawatir bahwa Jerman tidak siap untuk masa jabatan kedua Trump.
Hardt yang juga adalah juru bicara kebijakan luar negeri untuk CDU dan Uni Sosial Kristen CSU, mengatakan kepada DW bahwa dia kritis terhadap kebijakan luar negeri Jerman.
"Kita berbuat sangat sedikit dalam tiga tahun terakhir untuk membantu Joe Biden membuktikan bahwa gaya kooperatifnya dengan Eropa lebih berhasil dibandingkan gaya konfrontatif Trump. Kita belum bersama-sama mencoba mengembangkan strategi tentang Cina, dan kita tidak berpegang teguh pada kesepakatan mengenai hal ini. Hanya di bawah tekanan perang di Ukraina, semuanya bergerak," ujarnya.
Hubungan penuh gejolak dengan NATO
Skeptisisme Trump terhadap NATO juga menimbulkan kekhawatiran di Eropa. Selama masa jabatan pertamanya, Trump berulang kali mengancam akan menarik diri dari aliansi pertahanan negara-negara Barat tersebut.
Komisaris Pasar Internal UE Thierry Breton baru-baru ini menambah ketidakpastian ketika ia menceritakan sebuah anekdot terbuka kepada Parlemen Eropa: Pada 2020, Presiden AS Trump diduga mengatakan kepada Presiden Komisi UE Ursula von der Leyen bahwa "jika Eropa diserang, kami tidak akan membantu dan mendukung Anda."
Selama empat tahun, Trump mengabaikan masalah ini. Pada pertengahan Januari, ketika ditanya apakah ia akan memberikan dukungan militer kepada mitra-mitra NATO di Eropa jika ia memenangkan pemilu, Trump mengatakan hal itu "tergantung apakah mereka memperlakukan kita dengan baik."
Saat ditanya mengenai komitmennya terhadap aliansi NATO, ia menambahkan, "NATO telah memanfaatkan negara kita. Negara-negara Eropa juga mengambil keuntungan."
Pada 2019, Trump mengatakan bahwa "Eropa memperlakukan kita lebih buruk dibandingkan Cina."
Josef Braml, Direktur Komisi Trilateral Eropa di Institut Konsultasi Strategis, Politik, Keamanan, dan Ekonomi di Berlin, menilai hal ini sebagai indikasi bahwa "Trump melihat Eropa sebagai musuh."
Braml yakin bahwa dalam tatanan dunia di bawah Trump, Eropa hanya punya satu peluang untuk bertahan: "Eropa harus bertindak sebagai satu kesatuan."
Tapi bagaimana negara-negara Eropa bisa mencapai persatuan, mengingat banyaknya kepentingan mereka? Braml menganggap uang adalah solusinya. "Kita harus berpikir lebih besar – dan memberikan utang bersama-sama di Eropa, mendukung masing-masing negara secara finansial, dan sebagai impalannya ada persyaratan tertentu bagi negara itu," jelasnya.
Nasib kebijakan payung nuklir
"Dengan uang dari pinjaman bersama Eropa, kita akan mampu membiayai pertahanan kita sendiri," tambah Braml. "Kita membeli jet tempur F-35 dari AS sehingga kita dapat terus berpartisipasi dalam pertahanan nuklir. Namun apa gunanya pembagian nuklir jika Trump kembali menduduki Gedung Putih?" ujarnya.
"Kita harus bersiap menghadapi hal ini sekarang, dan bersepakat dengan Prancis dan Polandia mengenai kerja sama militer dan ekonomi yang lebih luas yang juga melibatkan negara-negara Eropa lainnya," ujarnya.
Namun politisi dari Partai CDU, Jürgen Hardt, berpendapat bahwa skenario di mana Trump menarik payung nuklir Eropa adalah tidak realistis. Lagi pula, tidak ada seorang pun yang menginginkan adanya kompetisi baru di bidang persenjataan nuklir.
Apa pun yang terjadi, terpilihnya kembali Trump tampaknya akan menjadi ujian besar tidak hanya bagi hubungan trans-Atlantik, tetapi juga bagi kohesi Eropa. (ae/hp)
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!