1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jokowi Pilih Diplomasi Damai tapi Tegas soal Perairan Natuna

4 Januari 2020

Presiden Jokowi mengatakan tidak ada kompromi dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia terkait klaim Cina atas perairan Natuna. Pemerintah lakukan diplomasi damai namun tegas dalam menangani konflik ini.

https://p.dw.com/p/3VhZl
Ostchinesisches Meer China Küstenwachenschiff 2166 bei Senkaku / Diaoyu
Foto: picture-alliance/dpa/Japan Coast Guard

Istana memastikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersikap tegas merespons klaim Cina di perairan laut Natuna. Upaya penanganan klaim Cina di Natuna dilakukan dengan diplomasi damai.

"Berdasarkan arahan Presiden, pemerintah Indonesia bersikap tegas sekaligus memprioritaskan usaha diplomatik damai dalam menangani konflik di perairan Natuna," ujar Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman kepada wartawan, Sabtu (4/1/2020).

Fadjroel lantas mengutip pernyataan Jokowi soal sikap terkait klaim Cina atas Natuna.

"'Tak ada kompromi dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia', tegas Presiden Jokowi," kata Fadjroel mengutip Jokowi.

Baca juga: Kapal Cina Masuk Natuna, Ahli Hukum: Otoritas Perikanan RI Perlu Dilibatkan

Prabowo pilih diplomasi damai

Sebelumnya, Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto mengambil sikap menindaklanjuti kasus klaim Natuna oleh Cina dengan pendekatan damai. Jalan damai ini disebut sebagai prinsip pertahanan.

"Sesuai dengan prinsip diplomasi seribu kawan terlalu sedikit, satu lawan terlalu banyak dan prinsip pertahanan kita yang defensif bukan ofensif. Maka penyelesaian masalah selalu mengedepankan upaya kedua prinsip di atas. Maka langkah-langkah damai harus selalu diprioritaskan," kata Staf Khusus Bidang Komunikasi Publik dan Hubungan Antar-Lembaga Menhan RI, Dahnil Anzar Simanjuntak, Sabtu (4/1).

Dahnil menjelaskan, langkah damai bukan berarti tidak bersikap tegas. Langkah damai disebut sebagai jalur diplomasi.

Indonesia sudah menegaskan klaim Cina bertentangan dengan hukum internasional yang sah. Tapi Cina tetap menganggap perairan Laut Natuna bagian dari negaranya.

Indonesia berpijak pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Pada 2016, pengadilan internasional tentang Laut Cina Selatan menyatakan klaim 9 Garis Putus-putus sebagai batas teritorial laut Negeri Tirai Bambu itu tidak mempunyai dasar historis.

Baca juga: Cina: "Kami tidak gentar hadapi masalah"

Menlu tegas, TNI siaga tempur

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyampaikan empat poin sikap Indonesia terkait klaim Cina atas Laut Natuna. Retno menegaskan Indonesia tidak akan pernah mengakui klaim sepihak Republik Rakyat Cina (RRC) atas teritorial lautnya yang disebut 'Nine Dash Line'.

"Indonesia tidak pernah akan mengakui Nine Dash Line, klaim sepihak yang dilakukan oleh Tiongkok yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum Internasional terutama UNCLOS 1982," kata Retno di Gedung Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2020).

Sementara, Tentara Nasional Indonesia (TNI) melaksanakan operasi siaga tempur setelah Cina mengklaim Laut Natuna sebagai wilayah teritorial mereka. Kapal-kapal militer RI dikerahkan.

Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I Laksdya Yudo Margono, mengatakan operasi siaga tempur dilaksanakan oleh Koarmada 1 dan Koopsau 1 dengan Alutsista yang sudah digelar, yaitu tiga KRI dan satu pesawat intai maritim dan satu pesawat Boeing TNI AU.

Natuna: potensi komoditas laut terbesar

Banyak kapal ikan asing (KIA) melakukan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) di wilayah perairan Natuna. Bahkan coast guard China melakukan pengawalan terhadap kapal ikan tersebut.

Staf ahli bidang ekologi dan sumber daya laut di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Aryo Hanggono, mengatakan Natuna jadi salah satu daerah yang memiliki potensi komoditas laut terbesar di Indonesia. Sehingga banyak kapal penangkap ikan dari negara lain yang memasuki wilayah tersebut.

"Natuna termasuk golden fishing ground selain Arafura, perairan di utara Sulawesi yang jadi perbatasan dengan Filipina. Jadi wajar kalau orang banyak datang ke situ untuk mencari ikan," kata Aryo kepada wartawan, Sabtu (4/1/2020).

Aryo mengatakan banyaknya kapal asing menangkap ikan di Natuna karena faktor geografis dan juga karena kapal Indonesia kalah besar dan jumlah yang beroperasi di sana.

"Menurut saya, di situ sumber ikan banyak, kedua faktor geografis. Ketiga, nelayan kita di situ kapalnya kecil. Kapal Cina itu kan kapal besi. Kapal Vietnam juga lumayan besar dibanding kapal kita," ujarnya. 

(pkp/yp)

Baca selengkapnya di: detiknews

Istana: Jokowi Tegas, Tak Ada Kompromi soal Natuna

Ada Potensi Apa di Natuna yang Bikin Coast Guard China Terobos Wilayah RI?

China Klaim Natuna, Ini 8 Sikap RI