HRW : Warga Sipil Korban Kekerasan di Thailand Selatan
29 Agustus 2007Dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah. Inilah nasib masyarakat di perbatasan Thailand Selatan. Konflik bertahun antara militer Thailand dengan kelompok separatis, menyebabkan begitu banyak jatuhnya korban jiwa dari warga sipil. Tak hanya pemerintah, kelompok separatis pun melakukan aksi kekerasan terhadap warga setempat. Mereka membunuhi warga, menyerang sekolah-sekolah, klinik masyarakat, hingga candi-candi Budha. Inilah laporan HRW terbaru tentang kondisi HAM di Provinsi Pattani, Yalla, Narathiwat dan Songkhla, antara tahun 2004-2007. Laporan setebal 104 halaman berjudul „Tak Seorangpun Selamat“ ini berdasarkan hasil wawancara dengan para saksi mata, korban, akademisi, jurnalis, pejuang HAM, pengacara, dan pejabat pemerintah. Direktur HRW Asia, Brad Adams mengungkapkan dalam tiga setengah tahun belakangan ini jumlah korban tewas mencapai lebih dari 2400 orang, sementara 2200 orang diantaranya atau hampir 90 persennya merupakan warga sipil. „kelompok separatis itu menggunakan kekerasan keji, misalnya dengan memenggal kepala warga sipil, menyebarkan bom menyulut kebakaran, dan menembaki orang-orang. Sasaran mereka biksu Budha, para pegawai pemerintahan, guru, militer dan polisi. Tetapi mereka juga membunuhi orang Melayu Muslim sendiri yang dianggap bekerjasama dengan militer dan polisi. Kami mencatat dalam kurun waktu itu sekitar 3000 kali terjadi penyerangan terhadap warga sipil, sementara terhadap pasukan keamanan sekitar 500 kali. Maka terlihat bahwa mereka lebih banyak menyerang warga sipil ketimbang militer.“
Pemerintah Thailand, menurut HRW tidak dapat dilepaskan dari parahnya pelanggaran HAM di wilayah ini. Brad Adams menambahkan tindak kekerasan dan diskriminasi di Thailand Selatan yang dilakukan pemerintah, memancing semakin meningkatnya aksi pelanggaran HAM. “Pemerintah dengan berbagai cara malah memulai kekerasan itu sejak dulu, dengan memperlakukan para warga Muslim dengan buruk, melakukan diskriminasi, tak peduli pada buruknya keadaan ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Belum lagi bila separatis menyerang, mereka membalasnya dengan berlebihan. Mereka membunuh, menculik dan menyiksa. Mereka melakukan pelanggaran HAM. Kedua pihak pihak bertanggungjawab atas aksi kekerasan dan pelanggaran HAM.”
Aksi kekerasan di perbatasan Thailand Selatan mulai terasa sejak tahun 1960 an. Para warga Muslim, yang kini menjadi militan tidak tahan dengan diskriminasi ekonomi, agama , budaya dan lain-lain yang dilakukan oleh pengambil kebijakan. dengan semakin parahnya kekerasan di Thailand Selatan, HRW merekomendasikan agar pemerintah Thailand bersikap adil dengan menghukum pejabat atau aparat yang melakukan tindak pelanggaran HAM. Pemerintah juga harus memperbaiki sistem pendidikan, ekonomi, kesehatan dan pelayanan publik lainnya. Sementara kelompok separatis juga dihimbau untuk menghentikan aksi kekerasan.