HRW: Uni Eropa Mesti Pimpin Penegakan HAM
11 Januari 2007Organisasi hak asasi Human Rights Watch HRW, hari Jumat (12/01) merilis laporan tahunan tentang situasi hak asasi di berbagai bagian dunia. Bukan kebetulan, peluncuran laporan itu waktunya bertepatan dengan 5 tahun pengiriman pertama tersangka Taliban dan Al Kaidah ke penjara Guantanamo. Peristiwa yang mencemarkan reputasi Amerika sebagai promotor hak asasi manusia. Direktur EksekutifHRW, Kenneth Roth:Kenneth Roth: Secara tradisional, Amerika Serikat sebagai negara paling adikuasa yang menjadikan HAM sebagai salsah satu unsur penting dalam politik luar negerinya, pernah memainkan peran kepimpinan dalam kampanye HAM di dunia. Tertapi kali ini kredibilitasnya benar-benar ternoda. Itu karena langkah langkah Washington yang antara lain melakukan penyiksaan dan penahanan tanpa pengadilan seperti yang dilakukan di penjara Guantanamo.
Dengan demikian, kata Kenneth Roth, sekarang ini jika Amerika bicara HAM, pemerintah lain tak lagi hirau. Karenanya, dibutuhkan kekuiatan lain untuk mengisi kekosongan dalam kepemimpinan penegakan HAM di dunia.
Menurut Kenneth Roth, yang paling tepat mengambil peranan itu adalah Uni Eropa. Karena Uni Eropa merupakan sebuah kelompok dengan 27 anggota, yang semuanya demokratis dan mengutamakan HAM dalam kebijakan dalam negerinya. Tetapi, karta Roth:
"Masalahnya, Eropa berkutat dengan berbagai urusan rumit. Mereka selalu menghabiskan begitu banyak waktu dalam hal prosedur, pergiliran kepemimpian, pencapaian konsensus, dll. Sehingga susah sekali jadinya untuk mengambil peran dan memainkan pengaruh pentingnya untuk mengkampanyekan dan menegakan nilai-nilai HAM di seluruh dunia."Ini untuk ke 17 kalinya HRW menerbitkan laporan tahunan. Kali ini, dalam dokumen setebal 556 halaman ini HRW mengulas keadaan HAM di 74 negara. Termasuk Indonesia. Sejumlah peristiwa dan gejala di Indonesia menjadi perhatian khusus. Antara lain masih adanya kekebalan hukum para pejabat pelanggar HAM, macetnya reformasi militer, masih berlangsungnya hukuman mati, masih kuatnya ancaman terhadap media dan kebebasan berkespresi, meningkatnya ancaman terhadap kebebasan beragama. Buntunya penanganan hukum atas kasus pembunuhan terhadap Munir serta keadaan di Aceh dan Papua, juga menjadi sorotan khusus.
Mengenai keadaan dunia secara umum, Human Right Watch menunjuk gawatnya situasi di Darfur, Irak dan Afghanistan, sebagai tantangan besar perjuangan HAM. Kembali Kenneth Roth:
"Jelas, yang situasinya paling gawat adalah Darfur, Irak dan Afghanistan. DI Darfur, berlangsung kejahatan terhadapa kemanusiaan sejak bertahun-tahun lalu. Terjadi pembantaian etnis yang dijalankan oleh milisia pendukung pemerintah. Sekitar 200 ribu orang terbunuh, 2 juta terusir. Seluruh upaya dunia untuk menghentikannya nyaris sia-sia. Kita juga menyaksikan meluasnya kekerasan berdarah di Irak. Setiap bulan ribuan orang terbunuh. Di Afghanistan sesudah tumpasnya Taliban, situasi seakan kembali normal. Namun belakangan kekerasan kembali marak. Perlawan muncul di mana-mana. Hingga NATO pun turun tangan.Tiga persoalan besar ini membutuhkan suatu kepemimpinan internasional, dan tekad yang lebih kuat lagi untuk mengatasi seluruh persoalan itu.