HRW Tuduh Uni Emirat Arab Ekploitasi Tenaga Kerja Asing
20 Mei 2009Rencana pariwisata Abu Dhabi, ibukota Uni Emirat Arab (UEA), berpusat di Jazeera Saadiyat, pulau kebahagiaan. Wilayah seni dan budaya yang luar biasa, pulau yang dibuat oleh tangan manusia. Beberapa tahun ke depan akan menjadi tempat pameran bagi koleksi museum seni terkemuka Guggenheim di New York dan Louvre, Paris. Total biaya pembangunan, lebih dari 20 juta miliar dolar Amerika.
Tetapi, museum, teater, hotel dan rumah-rumah mewah di pulau itu dibangun oleh sebagian besar pekerja tak berpendidikan dari luar negeri, dalam kondisi yang mengingatkan pada kerja paksa.
William Van Esveld dari organisasi hak asasi Human Rights Watch mendatangi proyek pembuatan pulau Saadiyat dan menanyai hampir 100 pekerja. Apa yang disampaikan pemuda Bangladesh berikut ini, kata Van Esveld, tak jauh berbeda dengan pekerja lainnya.
"Ia membayar agen tenaga kerja sekitar 4.000 Dolar Amerika untuk memperoleh ijin bekerja di Uni Emirat Arab. Ia diiming-imingi mendapat sekitar 270 dolar sebulan di Abu Dhabi, ditambah kerja lembur bisa mencapai 400 dolar sebulan. Jadi, dia menjual sebidang tanah miliknya, menggadaikan rumah, meminjam uang pada keluarga, akhirnya meminjam ke tukang kredit dengan bunga 10% sebulan, berarti 120% setahun.“
Ketika pemuda Bangladesh itu tiba di Abu Dhabi, ia sudah dibebani hutang tinggi. Dan ternyata ia hanya menerima bayaran 163 dolar sebulan, seratus lebih sedikit dari yang dijanjikan. Ijin tinggalnya terikat pada tempat kerjanya. Keluar dari pekerjaan itu berarti harus keluar dari negara itu juga. Dan sejak ia tiba, perusahaan kontraktor tempat ia bekerja, menahan paspornya.
Patut diketahui, hukum di UEA melarang memungut uang administrasi dari tenaga kerja asing, jika mereka didatangkan ke negara itu. Pemberi kerja juga dilarang menahan paspor mereka. Toh kedua hal itu biasa terjadi. Pemerintah UEA juga tidak melaksanakan hukum yang berlaku, termasuk soal upah minimum. Serikat buruh juga dilarang.
Sarah Leah Whitson dari Human Rights Watch: "Pemerintah mengatakan, mereka tengah mencari solusi. Kami tahu mereka membentuk komite, mempelajari masalah dan mencari pemecahannya selama bertahun-tahun. Tapi kami tidak melihat hasilnya. Yang kami lihat sampai sekarang, hukum tetap tidak dijalankan.“
Untungnya, menurut Human Rights Watch, kondisi kerja di Pulau Saadiyat lebih baik daripada di Dubai yang sejak lama mendapat sorotan dunia. Upaya untuk mengakomodasi tenaga kerja secara manusiawi, merupakan hal terpuji.
Karena sedikit sekali kemajuan yang dicapai dalam hal itu, Human Rights Watch kini beralih ke institusi-institusi budaya yang ikut membangun di Pulau Kebahagiaan, antara lain Museum Louvre dan Guggenheim. Mereka bukan perusahaan yang memalukan, melainkan: "Institusi yang seharusnya membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, mengembangkan kebudayaan dan pendidikan. Karena itu mereka dinilai dengan ukuran yang berbeda. Mereka harus memastikan proyek-proyeknya bermanfaat untuk semua orang, bukan hanya para pengunjung yang membeli tiket masuk, tapi juga para pekerja yang membangun tempat-tempat ini.“
Carsten Kühntopp/Renata Permadi
Editor: Yuniman Farid