HRW: Stop Kekerasan di Papua
5 Juli 2007Organisasi hak-hak asasi manusia internasional Human Rights Watch mengeluarkan laporan terkini mengenai peningkatan angka pelanggaran HAM di Papua. HRW menunjuk pasukan khusus kepolisian Brimob sebagai yang terbanyak melakukan aksi kekerasan di kawasan Pegunungan Tengah Papua, yang terisolir dari masyarakat luas, sehingga sulit terpantau.
“Gigi saya copot. Darah mengucur. Saya dipukuli. Awalnya, saya ditendang dua kali dan kemudian perut saya juga menjadi sasaran tendangan. Ditendangi lagi hingga entah beberapa kali, saya tidak mampu menghitung jumlahnya. Saya lihat semua kawan-kawan saya diperlakukan sama. Darah mengalir, namun tidak diperbolehkan ke tolilet. Mereka menyuruh kami menelan darah kami. Hidung saya berdarah. Mereka menyuruhnya untuk menelan darah itu lagi. Saya tidak mengetahui nama komandan yang menyuruh. Mereka bergantian menonjoki kami.”
Demikian kesaksian salah satu korban penyiksaan aparat kepolisian di Papua, yang tertulis dalam laporan yang baru dirilis Human Right Watch. Berjudul “Tak Terpantau, Penyiksaan dan Impunitas di Pegunungan Tengah Papua.” Identitas para korban tersebut dilindungi oleh HRW. Kesaksian lainnya diungkapkan oleh korban lainnya ketika ia ditahan polisi.
“Punggung saya dipopor dengan senjata, dan ditinju di wajah. Mulut dan mata saya lebam dan berdarah. Sesaat kemudian, saya ditendangi oleh lima anggota kepolisian. Mereka menggunakan seragam resmi lengkap dengan senjata. Saya baru sadar, ketika lima anggota kepolisian itu mengangkut saya ke dalam mobil. Saat membawa saya, mereka mendorong saya tiga kali dengan gagang senapan, dan di dalam mobil saya dipukuli dengan tongkat polisi.„
Dalam laporan HRW dituturkan di pegunungan tengah Papua, berbagai kasus kekerasan terjadi dan sulit terpantau. Pegunungan di tengah Papua mencakup Kabupaten Paniai, Jaya Wijaya, Tolikara, Bintang, Yakuhimo, dan Mimika merupakan wilayah bergunung-gunung, yang terisolasi. Charmain Mohammed, peneliti HRW memaparkan:
“Dari hasil penelitian kami, HRW menemukan polisi secara rutin melakukan aksi kekerasan. Penelitian itu dilakukan berdasarkan tahun 2005-2006, di pegunungan tengah Papua, kami temukan banyak sekali kasus, dimana terjadi 14 kasus pelanggaran HAM, diantaranya dilakukan oleh Brimob, tentara, selama operasi mereka di sana, juga saat menahan tersangka, serta dalam mengontrol situasi di sana.”
Penyiksaan dan perkosaan termasuk dalam 14 kasus itu. Lebih dari 50 kesaksian korban, saksi mata, didokumentasikan dalam laporan tersebut. Temuan kunci dalam penelitian itu adalah bahwa aparat keamanan bertanggung jawab terhadap serangkaian aksi pelanggaran HAM di sana. Dalam laporan itu tercatat juga aksi kekerasan oleh tentara, meski tidak semenonjol kasus-kasus yang diduga melibatkan Brimob. Seperti disampaikan Deputi Direktur Program HRW Joseph Sanders:
“Temuan utama kami, anggota kepolisian terutama Brimob bertanggung jawab, atas segala hal yang berhubungan dengan kekerasan di pegunungan tengah Papua. Kami tidak menemukan keterlibatan anggota TNI secara luas, tapi kami menemukan sebagian besar kasus ini ada kaitannya dengan anggota polisi dan brimob. Dan bahwa kasus ini, sangat sulit dan kami tidak menerima keterangan yang lebih lengkap, dan harus ada penelitian lebih lanjut.”
Ihwal operasi di Puncak Jaya terjadi Agustus 2005, ketika pasukan Brimob mendengar kabar pemimpin Operasi Papua Merdeka Goliath Tabuni, mengunjungi orangtuanya yang sakit di Desa Kuragi. Pasukan Brimob menanyakan keberadaan tokoh OPM itu pada penduduk desa dan menahan tiga orang diantaranya. Situasi menjadi tegang, terjadi baku tembak dan seorang anggota polisi tertembak. Pasukan Brimob tersebut melanjutkan pencarian terhadap Goliath Tabuni dan pengikutnya, hingga ke 13 desa di Distrik Tinginamput. Ribuan penduduk desa melarikan diri ke hutan-hutan dan bercerita bahwa rumah-rumah mereka telah dirusak. Kejadian lainnya di tahun yang sama adalah insiden penaikan bendera Bintang Kejora di Bulakme. Kekerasan juga terjadi dalam kasus penahanan eks Bupati Wamena David Hubi. Sementara di awal tahun 2006, seorang remaja 16 tahun menjadi korban tembakan polisi saat operasi rutin. Kemudian di tahun yang sama dalam laporan itu tercatat terjadi aksi kekerasan ketika polisi mencoba meredam aksi demonstrasi massa di kota Mulia Puncak Jaya, yang memprotes kenaikan harga bahan bakar minyak. HRW juga menemukan terjadi dua kasus perkosaan. Kembali Charmain Muhammed, peneliti HRW:
“kami menemukan aksi kekerasan jender, termasuk kasus-kasus perkosaan. Yang satu dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia, dan satunya lagi oleh anggota Brimob. ”
Salah satunya kasus menimpa anak sekolah berusia 16 tahun, di Distrik Jayawijaya.
Yang memprihatikan adalah para pelaku umumnya bebas dari hukum. Kembali Joseph Sanders:
“Temuan sangat penting kedua adalah tidak adanya sistem keadilan yang jelas disana sehingga banyak terjadi pelanggaran dan itu menjadi satu norma disana. Hanya ada satu pengecualian, bahwa tidak ada satupun pihak pihak yang terkait didakwa atas apa yang terjadi disana dan polisi menjadikan diri mereka sebagai hukum di sana. Dan ini menjadi sangat serius untuk diawasi secara efektif.”
Kepolisian membantah semua tudingan HRW. Juru bicara kepolisian Sisno Adiwinoto.
“Saya pikir terbalik. Justru empat anggota kita terbunuh oleh pengunjuk rasa. Seringnya peneliti ngawur, jadi mereka harus tunjukkan yang mana. Kalau laporan itu tidak menunjukan fakta, ya kita anggap tidak berdasar. LSM itu sering mencari laporan kontroversi untuk cari dana. Hanya cari sensasi dan perhatian.”
Human Right Watch sebenarnya juga telah mengirimkan surat baik ke kepolisian maupun militer di Papua untuk menanyakan informasi mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM itu. Namun tidak ada tanggapan. Kurangnya akuntabilitas dan buruknya sistem peradilan, diduga menjadi faktor berlakunya norma kekerasan di Bumi Cendrawasih itu. Bagi pengamat dan peneliti asing, wilayah Papua dan Papua Barat, sangat tertutup. Sulit untuk mendapatkan informasi yang dapat diandalkan. Oleh sebab itu HRW menyerukan agar pemerintah Indonesia membuka akses bagi pengamat independen untuk memperoleh informasi yang sebenar-benarnya atas kondisi yang terjadi di Bumi Cendrawasih itu. HRW juga merekomendasikan digelarnya penyelidikan atas semua kasus pelanggaran HAM yang melibatkan polisi atau tentara.
Di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, mahasiswa-mahasiswa Papua berunjuk rasa. Dengan berkaos Bintang Kejora mereka menuntut penghentian kekerasan di Papua, selain menuntut referendum. Harapannya dunia internasional dan pemerintah Indonesia mau membuka mata atas atas apa yang terjadi di tanah Papua.